Bukan, judul
artikel saya gunakan Bahasa Inggris, bukan karena mentang-mentang saya sedang
tinggal di UK, bukan. Tapi karena, kalau pakai Bahasa Indonesia kok kesannya
terlalu dramatis ya, hehe..
Tapi memang
benar, selain akhirnya punya anak, bisa tinggal di luar negeri, sejauh ini
adalah mimpi terbesar saya, yang diwujudkan oleh Allah. Sebelum saya bercerita
mengenai kehidupan saya di sini, saya ingin sharing bagaimana awalnya saya bisa
punya mimpi setinggi ini.
Saya
dilahirkan di keluarga sederhana. Pendidikan Bapak dan Mama saya tidak tinggi,
Bapak lulusan STM dan Mama lulusan MTS. Bapak dan Mama hanya pernah merantau di
Jakarta, bekerja sebagai pegawai pabrik, yang akhirnya mempertemukan mereka
sebagai jodoh. Setelah menikah, kembali dan tinggal di Malang. Bapak bekerja
sebagai pegawai PDAM golongan rendah dan Mama sebagai Ibu Rumah Tangga yang
kadang membantu memasak di rumah Pejabat Sekda Malang (saat itu), atau kadang
nyambi jualan batik yang keuntungannya hanya baju batik untuk dipakai anaknya,
itupun kalau semua pembeli akhirnya melunasi semua cicilan batiknya, hihi..
Dengan segala
keterbatasan tersebut, keluarga kami tidak pernah traveling. Jangankan
traveling, untuk makan sehari-hari saja Mama saya harus berhemat. Kalau sedang ada
rejeki dan masak cumi-cumi nih, harus pakai metode penjatahan. Sekali makan,
hanya boleh ambil 5 potong kecil cumi-cumi. Sepotong cumi adalah 1 bagian dari cumi-cumi
yang diiris menjadi 3 bagian, kepala-badan-ekor. Begitupun kalau Bapak dapat
rejeki lebih dari tetangga yang minta diperbaiki pipa airnya, sebelum pulang ke
rumah biasanya Bapak beli sate ayam dulu, dan masing-masing anak boleh ambil 3
tusuk, tidak lebih.
Faktor lain
adalah karena saat kecil, saya kudet banget. Saya bukan tipe anak petualang,
sangat berbeda dengan mbak saya. Kalau mbak saya hobinya main ke luar rumah, layangan,
kelereng, umbul, sampai ke gang sebelah, sampai ke pinggir sungai, sampe
berantem dengan teman mainnya yang cowok, haha. Kalau saya, di rumah, baca
bobo, main boneka, dengerin radio, atau belajar. Kalaupun main, biasanya mampir
ke rumah teman sepulang sekolah dan kemudian main di dalam rumah. Saya sampai
tidak kenal lho, dengan tetangga saya sekampung yang bagian belakang-belakang.
Kekudetan ini
makin menjadi, karena ternyata saya hobi banget mabuk darat, haha. Jangankan
perjalanan jauh, wong ke pasar besar naik mikrolet aja, Mama saya harus sedia
tas kresek. Alhasil, kalau Mama saya pergi ke pasar atau rekreasi dengan
ibu-ibu pkk, saya tidak pernah diajak, karena pasti akan merepotkan. Mama lebih
memilih mengajak adik saya. Sayapun sebenarnya senang tidak diajak, karena
kalau mau ikut dan nanti muntah-muntah saat perjalanan, saya juga merasa
tersiksa. Dan image sebagai anak rumahan, semakin melekat pada saya.
Saya dipaksa
berubah oleh keadaan, saat kelas 5 SD. Saat itu saya terpilih menjadi wakil
Indonesia untuk mengikuti International Youth Choir Festival di Jepang,
sebagian ceritanya bisa dibaca di sini. Acara diselenggarakan pada bulan
Agustus 1994. Sebagai persiapan, maka latihan paduan suara harus dilakukan, di
Surabaya, sejak bulan April. Saya dan orang tua tidak ada pilihan, kalau mau
ikut ke Jepang ya harus ikut latihan. Karena hal tersebut akan jadi prestasi
yang sangat membanggakan bagi keluarga sederhana kami, maka kamipun berjuang.
Saya berjuang untuk mengatasi mabuk darat saya, sedangkan orang tua berjuang
untuk mempersiapkan uang transport dan akomodasinya. Alhamdulillah semua
berjalan dengan baik. Secara finansial, orang tua tidak sampai berhutang untuk
transport pp Surabaya-Malang dan biaya hidup selama di Surabaya. Dan hikmahnya,
hobi mabuk darat saya perlahan hilang. Sayapun menemukan cara, kalau mau bebas
dari mabuk darat, maka selama perjalanan harus tidur.
Perjalanan ke
Jepang tersebut adalah perjalanan jauh saya yang pertama, naik pesawat yang
pertama dan keluar negeri yang pertama. Pengalaman itu membuka mata saya, bahwa
tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Saya dari keluarga sederhana yang
awalnya pe-mabuk darat dan tidak berani untuk bermimpi tinggi, terbuka
cakrawalanya, dan mengantarkan saya pada mimpi selanjutnya bahwa suatu saat
saya harus ke Jepang lagi.
10 tahun
kemudian, mimpi kecil itu jadi nyata. Saya menjadi wakil dari kampus untuk
mengikuti Academic Exchange dengan University of Miyazaki Jepang. Dan
melambunglah mimpi saya menjadi lebih tinggi lagi, bukan hanya ingin keluar
negeri, tapi ingin tinggal di luar negeri. Mungkin kalau saya lebih sabar lagi,
mimpi itu akan jadi nyata, karena saat itu kampus punya rencana untuk
meregenerasi saya menjadi dosen. Hanya saja, saya berhadapan dengan realita
bahwa saya butuh bekerja dan mimpi bekerja ada di Jakarta, maka saya melewatkan
kesempatan itu.
Bersama Pak Dekan, PD 1, PD 3 Fakultas Teknik dan team akademisi dari University of Miyazaki
Mimpi tinggal
di luar negeri masih ada di pikiran saya, dan akhirnya saya lampiaskan dalam
bentuk traveling. Saya dan suami tidak punya harta yang berlimpah, tapi kami
suka traveling. Kalau ada uang lebih, biasanya traveling lebih prioritas
daripada membeli asset atau barang-barang bermerk. Seringkali karena kenekatan
kami, setiap kali pulang dari traveling, tabungan kami tiris, haha. Traveling
kami biasanya paling cepat 3 hari, paling lama 2 minggu. Dengan traveling, kita
bisa melihat kehidupan di luar sana , lebih open mind dan lebih menghargai
perbedaan. Bonusnya, hubungan suami istri juga bisa menjadi lebih dekat. Tapi
bagi saya, traveling itu hanya singgah, rasanya pasti akan tetap berbeda dengan
tinggal menetap. Jadi, mimpi untuk bisa tinggal di luar negeri, tetap tidak
tergantikan.
Saya sadar,
untuk mencapai mimpi tinggal di luar negeri, akan lebih sulit kalau saya yang
mengejar. Kondisi pekerjaan saya tidak memungkinkan. Dan yang lebih terbuka
kesempatannya adalah suami saya. Mas suami adalah abdi negara yang belum juga
menambah ilmunya karena kesibukan pekerjaan. Saya selalu memotivasi dia untuk
mencari beasiswa dan melanjutkan kuliah di luar negeri. Bukan karena
universitas di luar negeri pasti lebih bagus daripada universitas di Indonesia,
tapi dengan kuliah di luar negeri, kita juga akan dapat tambahan ilmu kehidupan
dan keluar dari comfort zone kita. Seolah-olah saya jadi istri yang bijaksana
ya, padahal ada agenda tersembunyi, haha..
Mas suami pun
mulai mencari beasiswa, beberapa kali tes dia ikuti, tetapi gagal. Sampai
akhirnya, 4 hari setelah Reika lahir, dia mengikuti seleksi yang ke-4. Awalnya
dia ragu untuk mengikuti seleksi tersebut, karena baru saja memiliki anak yang
sudah lama diperjuangkan, dan kemudian dia bertanya kepada saya,
“Kalau
beasiswa ini lulus, trus aku berangkat ke luar negeri gimana?”
“ya ambil
lah!”
haha, tanpa
ragu saya menjawab. Wong ini impian bagi saya, masak mas suami masih ragu sih.
Dan kemudian, Allah mengabulkan usaha dan doa kami. Mas suami akhirnya
mendapatkan beasiswa. Alhamdulillah semua proses dilancarkan, sejak saat seleksi
sampai dengan keberangkatan, sepertinya ini memang rejeki anak.
Penyemangat mas suami saat ikut tes beasiswa
Saya
bagaimana?
Awalnya saya
ragu untuk menemani mas suami, karena saya masih aktif bekerja, karena saya
masih merasa perlu untuk mengaktualisasikan diri, karena saya masih merasa perlu
berkarya, karena kami masih merasa perlu gajinya. Hanya saja kemudian saya
berpikir, betapa bodohnya saya kalau saya sampai tidak ikut. Ini Allah sudah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mewujudkan mimpi saya lho, melalui
suami saya. Kesempatan sudah di depan mata, masak tidak diambil sih. Dan pertimbangan
lain adalah, mendampingi suami itu ibadah, masak dikasih kesempatan untuk panen
pahala, ga mau sih.
Setelah
berpikir beberapa waktu, menimbang-nimbang pro dan kontranya, akhirnya saya
putuskan untuk menemani suami tinggal di luar negeri, dengan konsekuensi saya
harus resign dari pekerjaan saya. Keputusan meninggalkan pekerjaan pertama yang
sudah saya jalani 10 tahun ini, berat untuk saya. Apalagi tepat sebelum saya
mengajukan resign, ada tawaran posisi menarik yang disampaikan oleh pak
Direktur. Hanya saja, mengikuti kata hati dan meraih mimpi terasa lebih
menggiurkan, keluar dari comfort zone terasa lebih menantang. Dan ini akan
menjadi pengalaman hidup yang mungkin kesempatannya tidak akan datang untuk
kedua kali, kecuali jika Allah mengijinkan.
Poster hasil karya mas Budi, OB super kreatif di Tendean. Bikin terharu..
So, here I
am. Sudah 2 bulan tinggal di Birmingham, UK. Dan tidak sedetikpun menyesali
keputusan yang telah saya buat. Bahkan sangat bersyukur, karena my biggest
dreams come true, finally ..
Baru sah kalau sudah foto di red telephone box, haha..
26 Januari
2017, Birmingham, UK
*sebenarnya
info lokasi menulis seperti di atas juga membuat mimpi saya makin kenceng. Seringkali
saya melihat penulis yang tulisannya menjadi viral di fb, lokasi menulisnya
yang dari luar negeri ditulis di akhir tulisannya. “ah, suatu saat saya juga
pasti bisa seperti itu”, batin saya. Impian cemen tapi powerful, alhamdulillah
..