Rabu, 30 Desember 2015

Timehop, Ulang Tahun Pernikahan Bapak dan Mama

Bapak dan Mama saya menikah dalam kondisi yang serba kekurangan. Saat itu usia Bapak 29 tahun dan Mama 19 tahun, terpaut 10 tahun. Bapak belum memiliki pekerjaan yang bisa diandalkan, bahkan biaya pernikahan saja, disumbang oleh adik Bapak, Mama Nis dan Om Yun. Setelah menikah, barulah rejeki mulai datang. Bapak dibantu oleh tetangga kami untuk bekerja di PDAM. Meskipun hanya sebagai tukang gali pipa bocor, tapi dari pekerjaan itulah Bapak bisa menghidupi keluarga kecilnya.

Kehidupan yang sederhana, membuat Bapak dan Mama tidak pernah merayakan hari jadi mereka. Jangankan merayakan hari jadi, untuk kehidupan sehari-hari saja Mama harus memutar otak supaya gaji Bapak bisa mencukupi semua pengeluaran keluarga.

Hari itu, 3 tahun yang lalu, 30 Desember 2012, adalah peringatan hari pernikahan Bapak dan Mama yang ke-32. Bapak dan Mama yang kebetulan sedang tinggal di rumah kami, tidak punya rencana apapun, hanya di rumah saja dan mungkin seperti hari-hari sebelumnya, menonton sinetron di stasiun tv nasional, hehe..

Saya terpikir untuk memberikan surprise kecil. Beberapa hari sebelumnya, saya pesankan cake ke salah satu langganan saya. Cake itu akan saya berikan ke Bapak dan Mama sepulang saya bekerja. Hanya sebagai pengingat saja, bahwa usia pernikahan mereka, tidak semua orang bisa melaluinya dengan baik. Sebagai tanda bersyukur, bahwa 32 tahun telah dilalui bersama dalam suka dan duka, dalam tawa dan air mata.

Maka sepulang saya bekerja, saya bawa kue tersebut, yang sudah ada lilin menyala di atasnya, ke kamar Bapak dan Mama. Saya dan mas suami mengucapkan selamat atas 32 tahun Bapak dan Mama hidup bersama. Kemudian kami meminta Bapak dan Mama meniup lilin bersama.

Mama, seketika menangis..
Dan diikuti oleh wajah haru Bapak..
Bapak dan Mama terharu karena memang selama ini hari pernikahan mereka sama sekali tidak pernah dirayakan, bahkan dalam bentuk sekecil apapun. Mungkin saling mengucapkan selamat saja tidak pernah. Sehingga surprise kecil dari kami, menjadi kebahagiaan besar untuk Bapak dan Mama.

Dan siapa yang menyangka, bahwa hari tersebut adalah kesempatan terakhir saya untuk memberi kebahagiaan kecil di hari jadi Bapak dan Mama. Bapak meninggal 5 bulan kemudian sehingga tidak sempat memperingati hari jadi pernikahan ke-33..

Semoga kami bisa seperti Bapak dan Mama, selalu bersama, dan hanya maut yang dapat memisahkan. Terima kasih atas teladan yang telah diberikan..

Bahagiakanlah orang tua kita, mumpung masih bisa..
Terima kasih untuk timehop yang sudah membangkitkan kembali memori masa lalu..

Selasa, 29 Desember 2015

Seminar Peran Ayah dalam Pengasuhan

21 November 2015 yang lalu, saya dan mas suami mengikuti seminar parenting yang diadakan oleh @kampungkeluarga. Seminar parenting ini bertempat di AXA Tower dan dimulai pada pukul 8 pagi. Lumayanlah, berangkat pagi-pagi dari BSD, hehe..

Pada seminar kali ini, ada 2 pembicara. Yang pertama adalah seorang penulis, yang buku “Sabtu Bersama Bapak”nya berhasil membuat saya dan mas suami mbrebes mili saat membacanya, Adhitya Mulya. Dan satunya lagi adalah ahli parenting, yang saya salut banget, meskipun sudah senior, tetapi tetap bersemangat dan seolah-olah energinya tidak pernah habis, Ibu Elly Risman. Dan ini adalah ke-empat kalinya saya mengikuti kelas beliau.

Acara dibuka dengan sesi kang Adhit. Beliau menceritakan secara singkat mengenai sinopsis bukunya dan menjelaskan mengenai poin apa saja yang terkait dengan parenting di buku tersebut.

Cerita Sabtu Bersama Bapak ini adalah cerita fiksi, yang menceritakan tentang seorang Bapak yang sakit parah dan hanya punya waktu 1 tahun lagi untuk hidup. Karena dia sadar, dia tidak bisa mendampingi kedua anak lelakinya tumbuh besar dan dewasa, maka dia berusaha untuk memberikan pengganti kehadirannya dengan merekam diri dalam bentuk video. Video ini akan diputar setiap hari Sabtu, berbeda kaset untuk masing-masing anak. Cerita berkembang ke kehidupan dewasa masing-masing anak. Sang kakak, Satya yang merasa kesusahan dekat dengan istri dan anaknya. Si adik,Cakra yang merasa kesusahan mendapatkan jodoh. Dan juga ibu Euis, yang memilih untuk tidak menikah dan ketakutan jika suatu hari harus “pergi” meninggalkan anak-anaknya.

Saya pribadi, suka membaca buku ini, apalagi saat itu Bapak saya baru saja meninggal, jadi rasanya ya kena banget. Apalagi suami saya, yang ayahnya meninggal ketika dia masih 4 SD, makin kena banget. Kalau mau cerita lengkapnya, beli aja bukunya, ga bakalan nyesel deh.. ;-) *bantuin promo, hehe..

Sedangkan untuk nilai parenting apa saja yang bisa didapat dari bukunya, kang Adhit merangkum beberapa hal, yang bisa dilihat di bawah ini..
Setelah sesi kang Adhit selesai, maka dilanjutkan dengan sesi Bu Elly Risman. Secara garis besar, Bu Elly menjelaskan mengenai arti pentingnya kehadiran seorang ayah dalam kehidupan anak. Banyak sekali hal yang “tidak benar” yang terjadi pada seorang anak, mulai dari kecil sampai dewasa, yang ternyata setelah ditelusuri, penyebabnya adalah ketidakhadiran seorang ayah, atau ayah ada tapi tiada, fatherless.

Materi yang dibawakan oleh bu Elly Risman dapat dilihat di bawah ini.
Setelah bu Elly selesai menyampaikan materinya, mas suami sempat sharing dan bertanya kepada bu Elly. Dan saya bangga sama mas suami, karena bisa menceritakan hal yang pribadi di depan banyak orang, yang saya tau itu tidak mudah bagi mas suami. Awalnya saya yang akan sharing dan bertanya, tapi mas suami meyakinkan saya “ini tentang kehidupanku, aku aja yang cerita. Aku yakin bisa”

Sharingnya adalah seperti ini,
“Kakek saya adalah seorang polisi, beliau mendidik Abah saya yang merupakan anak tunggal, dengan cukup keras. Kakek meninggal ketika abah kelas 5 SD. Setelah itu, Nini memutuskan untuk tidak menikah lagi sampai akhir hayatnya, sehingga role model yang Abah punya hanyalah Kakek. Abah mendidik saya juga dengan cukup keras, disiplin tingkat tinggi. Mungkin ini merupakan kombinasi darah Batak dan role model dari Kakek yang akhirnya diterapkan di keluarga Abah. Abah, meninggal ketika saya kelas 4 SD. Berbeda dengan Nini, Mama saya memutuskan untuk menikah lagi dengan Papa. Papa memiliki karakter yang sangat jauh berbeda dengan Abah. Papa sangat sabar dan berhati lembut. Dan ternyata, ketika saya tumbuh dewasa, karakter saya lebih mendekati Papa daripada Abah. Begitupun saat berkeluarga, role model yang saya dapatkan dari Papa lah yang saya terapkan di keluarga saya.
Yang ingin saya tanyakan, jika sesuatu terjadi pada saya sehingga saya harus “meninggalkan” anak istri saya, apakah sebaiknya yang harus dilakukan oleh istri saya, mengasuh anak saya sebagai single parent atau mencari suami baru yang dapat dijadikan role model untuk anak-anak saya nantinya?”

Bu Elly tidak menjawab pertanyaan mas suami dengan to the point. Beliau hanya menjelaskan bahwa, kita tidak memiliki diri kita sendiri, mumpung kita masih bisa, maka kita harus memberikan bekal terbaik untuk anak-anak kita, terutama bekal ilmu agama. Selengkapnya, jawaban bu Elly bisa dilihat di video di bawah ini.

Di awal acara, panitia menjelaskan bahwa ada lomba selfie yang dapat diikuti. Karena saya duduk di deretan paling depan dan tidak sempat selfie sebelum acara dimulai, maka foto inilah yang saya posting.
Dan alhamdulillah, dapat juara 2, hehe.. Setelah hadiah diserahkan, maka saya berfoto bersama dengan pembicara, moderator dan panitia.
Lumayan hadiahnya, terutama voucher untuk membeli baju anak, hihi, alhamdulillah..
Dan setelah acara selesai, kami yang memang sengaja membawa buku Sabtu Bersama Bapak, meminta ttd kang Adhit di buku tersebut. Sempat ada insiden sih, pulpen yg kami pinjem kok agak tersendat, jadilah bukunya kaya dicoret-coret gitu, haha.. Tapi kami coba pinjem pulpen lagi, dan berhasil meminta ulang ttd. Inilah kalau kurang prepare, harusnya selain buku, kami juga bawa pulpen dari rumah. Dan selain ttd, lumayan dapat bonus selfie, hehe..
Dan beberapa hari kemudian, foto yg saya ikutkan di lomba selfie, di-like oleh kan Adhit beserta istri, teh Ninit, senangnya, hehe..
Dan apa yang kami dapatkan dari seminar tersebut?
1. Bahwa kehadiran ayah adalah suatu keharusan. Lebih baik jika ayah hadir secara fisik, bukan hanya rekaman video seperti ayah dalam buku Sabtu Bersama Bapak. Tetapi kalau hal tersebut adalah hal terbaik yang dapat dilakukan, lakukan saja, mumpung masih bisa
2. Ayah tidak hanya hadir, tetapi juga terlibat aktif dalam pengasuhan
3. Ekstrimnya, kalau suami kerja jauh dari anak istri, maka pilihannya adalah suami cari pekerjaan lain, atau anak istri pindah untuk hidup bersama suami. Intinya, ayah ibu dan anak harus hidup bersama
4. Mumpung masih bisa, kita, ayah dan ibu, harus membekali anak kita dengan ilmu agama, dan ilmu kehidupan lain yang dapat membuat anak kita mandiri. Sehingga kalau suatu saat tiba-tiba kita “meninggalkan” mereka, mereka sudah siap
5. Anak bukanlah milik kita, mereka adalah titipan Allah, kita adalah Baby Sitter nya Allah. Untuk itu kita harus menjaga dan merawat amanah dari Allah dengan sebaik-baiknya

Semoga kita bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kita, aamiin..

Rabu, 23 Desember 2015

8 years of love..

Picture by @ihopecraft

Kata orang, angka 8, memiliki banyak arti. Ada yang bilang angka keberuntungan, pertanda rejeki nomplok, ada pula yang bilang angka yang melambangkan keabadian (infinity).

Bagi kami pribadi, tanpa melihat berbagai macam arti angka tersebut, tahun pernikahan ke-8 ini membawa kebahagiaan tersendiri. Kami mendapatkan kado terindah dari Allah, saya hamil dan saat ini sudah menuju ke usia kehamilan 8 bulan. Tidak ada yang lebih membahagiakan, di mana semua perjuangan, doa, dan air mata yang telah dicurahkan, berbuah manis.

Terima kasih untuk Allah dan orang tua yang telah dan selalu memberikan ridho untuk pernikahan kami..

Terima kasih untuk mas suami, yang telah memberikan warna dalam kehidupan pernikahan kita.
Kelembutan hatimu, kesabaranmu, senyummu, candamu, kepikunanmu, kecuekanmu, kentutmu, semua adalah kombinasi yang pas, karena itu adalah kamu, seorang lelaki yang berhasil membuat 8 tahun ini selalu terasa bahagia..

Dan sebagai kenangan manis perjalanan 8 tahun pernikahan kita, saya persembahkan video ini buat mas suami..


Semoga Allah selalu meridhoi pernikahan kita, kini dan nanti..
Jatuh cinta, selamanyaa..

Mug by @souvenircorner

Selasa, 22 Desember 2015

Pejuang Keturunan (12) – Dan, doa itu terjawab..

Tahun 2015 adalah tahun kebebasan untuk saya, darah saya bebas dari obat hormon dan vag*na saya bebas dari usg transvaginal, haha.. *girang banget ketawanya

Karena memang sedang tidak program hamil lagi, maka saya konsen untuk kesehatan saya. Gigi saya bersihkan semua, mulai dari scalling sampai dengan penambalan gigi yang berlubang. Dan ternyata ada 1 gigi geraham yang membutuhkan perawatan akar gigi dan akhirnya harus pasang crowne. Perawatan akar gigi ternyata lumayan juga ya, saya sampai harus 8x bolak balik ke dokter gigi. Selain itu, saya juga vaksin servick dan hepatitis B. Untuk vaksin hepatitis B, saya mengajak mas suami ikut serta, dan vaksin dilakukan oleh dokter di klinik kantor suami. Kami memang niat untuk vaksin hepatitis B karena setelah Bapak meninggal karena penyakit hepatitis B, kami cek darah, dan dari situ dapat dilihat bahwa kandungan vaksin dalam tubuh kami semakin menipis.

Vaksin servicks dan hepatitis B, masing-masing dilakukan sebanyak 3x. Vaksin servick dilakukan pada bulan ke-1, 2 dan 6, sedangkan vaksin hepatitis B dilakukan pada bukan ke-1, 3, dan 6. Kami melakukan suntikan vaksin pertama di 1 Juni 2015, vaksin servicks di lengan kanan dan vaksin hepatitis B di lengan kiri. Saya lupa vaksin yang mana, tapi salah satu vaksin membuat lengan saya rasanya kemeeennggg..

Hari itu Sabtu, 27 Juni 2015, hanya beberapa hari sebelum saya melakukan suntikan vaksin servicks ke-2 yang seharusnya dilakukan di 1 Juli 2015. Menstruasi terakhir saya 7 Mei 2015, yang berarti sudah 3 mingguan saya telat mens. Sesungguhnya saya tidak berpikir apa-apa saat itu, saya hanya iseng, karena masih ada sisa 1 test pack di rumah, yang harganya di bawah 10 ribu, ya saya pakai aja. Palingan hasilnya negatif, kan memang ga program. Tapi paling tidak, saat suntik vaksin servick, saya yakin bahwa saya sedang tidak hamil, karena hal tersebut tidak diperbolehkan.

Saat pipis sebelum wudhu untuk sholat subuh, saya sekalian tes urine. Dan hasilnya mengejutkan,

DUA GARIIISSS!!
Saya terdiam, terpaku, takjub dengan apa yang saya lihat. Beginilah ternyata cara Allah ikut campur dalam kehidupan, Dia memberikan kejutan berkali-kali dalam kehidupan kami.
Kemudian saya sholat subuh dan mengucapkan syukur. Tak lama kemudian suami saya bangun dan beranjak ke toilet. Setelah suami keluar dari toilet, saya mengabarkan kabar gembira tersebut, kamipun berpelukan tanda syukur. Untuk lebih meyakinkan, saya minta tolong suami untuk membeli test pack yang lain, yang agak lebih mahal supaya lebih meyakinkan. Setelah selesai sholat subuh, suami langsung berangkat untuk mencari test pack, dan ternyata apotik masih pada tutup semua, haha.. Akhirnya kami bersabar, sekitar jam 7 pagi, suami saya keluar rumah lagi dan pulang ke rumah dengan membawa test pack, sayapun langsung menggunakan test pack tersebut, dan hasilnya..

DUA GARIIISSS!!
Kami bak mendapatkan durian runtuh yang runtuhnya sepohon-pohonnya. Rasanya bahagiaaaa banget. Dan teletubies pun berpelukan kembali sambil menangis berdua, saking bahagianya. 

Kamipun segera menghubungi mama kami.
Saya memperhatikan ketika mas suami menghubungi mamanya. Mata mas suami berkaca-kaca dan saya bisa mendengar, jauh di sana mama mas suami menangis haru penuh bahagia.

Kemudian, saya menghubungi mama saya. Saat saya memberi kabar, mama saya teriak “Alhamdulillah” kencang sekali dan langsung tidak sabar untuk ke Jakarta lagi. Saya menyarankan mama untuk ke Jakarta nanti saja mendekati jadwal melahirkan, karena saya khawatir mama akan bosan kalau kelamaan di rumah saya, karena memang rumah masih sepi. Mama saya bilang, beliau ingin membuatkan makanan yang bergizi untuk anaknya yang sedang hamil. Tapi saya berusaha meyakinkan beliau lagi bahwa anaknya ini akan baik-baik saja kok, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Segala doa meluncur dari mulut mama kami, semoga doa yang baik-baik itu akan menjadi kenyataan, aamiin..

Tapi tidak valid rasanya kalau kami tidak periksa ke dokter. Saat hamil pertama dulu, saya sudah punya inceran rumah sakit mana yang saya pilih kalau melahirkan nanti. Dan karena kali ini saya sudah positif (test packnya), maka saya akan cek ke dokter yang praktek di rumah sakit tersebut, bukan ke dokter dimana saya melakukan program hamil.
Setelah mencari referensi dari tetangga, akhirnya kami pergi ke dokter yang buka praktek di hari Minggu. Setelah dicek, kantung hamil sudah terlihat tetapi memang janin belum terlihat. Dokterpun memberikan selamat kepada kami berdua.

Alhamdulillah..

Kemudian dokter memberikan vitamin ibu hamil dan juga obat penguat, setelah kami menginformasikan bahwa kami akan mudik lebaran dalam beberapa hari ke depan. Dokter sama sekali tidak melarang saya untuk mudik, asal obat penguatnya dikonsumsi rutin dan saya tidak melakukan aktivitas yang menguras energi berlebihan.
Foto USG setelah pulang mudik..
Cek darah rutin, TORCH dan HIV

Sepanjang kontrol dokter, tak henti-hentinya bibir saya dan mas suami tersenyum. Kami sangat bersyukur atas anugerah yang akhirnya Allah berikan di saat yang tidak kami sangka. Sesusah-susahnya kami berjuang, Allah malah memberikannya di saat kami tidak menjadikannya beban. Sepertinya, intinya memang kami harus ikhlas dan pasrah menjalani skenarioNya. Saat ini yang bisa kami lakukan adalah menjaga titipan ini sebaik mungkin.

Terus terang, saya merasa agak “tertampar” dengan semua pengalaman saat berjuang untuk memperoleh keturunan yang kami alami. Selama ini saya terlalu menggunakan logika, menurut saya 1 ditambah 1 ya pasti 2, kalau rajin belajar pasti nilainya bagus, kalau sudah berusaha ya pasti berhasil. Tetapi kadang saya lupa, bahwa ada kekuatan besar yang mengatur kehidupan kita, ada faktor X yang membuat semua logika jadi tak bernilai. Bukan berarti kita jadi tidak perlu berusaha dan hanya mengharapkan faktor X ya, menurut saya, tugas kita tetap berusaha tetapi hasilnya sepenuhnya serahkan saja ke Yang Maha Kuasa, pasrah, ikhlas dan positive thinking terhadap ketentuan Allah.
Saat ini usia kandungan saya sudah 7 bulan, waktu yang cukup “aman” untuk sharing cerita, udah ga pamali lagi kata orang. Perjalanan hamil saya masih 2 bulan lagi sampai dengan saatnya melahirkan nanti. Mohon doa dari teman-teman semua yaa, supaya lancar sampai dengan proses melahirkan nanti, sehat semua bayi mama dan papanya, aamiin..

Melalui sharing ini, kami berharap, teman-teman yang mempunyai perjuangan yang sama dengan kami untuk tidak pernah menyerah, karena kita tidak pernah tahu kapan dan bagaimana Allah memberikan jawaban atas usaha dan doa kita. Bisa saja hari ini kita menyerah padahal besok mau dikabulkan, Allah males deh mengabulkan, lha kitanya sendiri sudah nyerah.. (padahal saya yakin Allah tidak akan seperti itu, hehe..).
Kalaupun perjuangan kita belum berhasil juga, manfaatkan waktu untuk membahagiakan orang-orang yang kita sayangi dan menyayangi kita. Kalau masih ada orang tua, ya bahagiakanlah mereka selagi masih bisa. Kalau tinggal berjauhan dengan orang tua, sempatkanlah untuk mudik, minimal setahun sekali lah.

Tapi yang lebih penting, salinglah membahagiakan antara suami istri, saling memberi saling menerima, komunikasi di atas segalanya. Karena suami istrilah yang akan selalu berdua, sampai senja, sampai menua.

Salinglah mencinta, jatuh cinta selamanyaa..
Akad nikah, 8 tahun yang lalu..
Eiffel, I'm in love..]
bersambung di kehidupan nyata.. ;-)

Senin, 21 Desember 2015

Pejuang Keturunan (11) – Isi hati seorang istri dan calon ibu..

Manusia memang hanya bisa berencana, tetapi Allah lah yang menentukan jalan hidup kita. Dulu saya berencana menikah di umur 27, eh umur 24 lha kok sudah naik pelaminan. Inginnya di usia 28 sudah punya anak, eh sampai lewat kepala 3 belum juga dikaruniai keturunan.

Sebagian orang mempunyai ketakutan ketika akan menikah, ada yang khawatir kebebasannya terganggu dan ada yang ragu apakah benar calon suami atau calon istrinya nya adalah “the right one”. Tapi saya berbeda, saya tidak pernah ragu saat akan menikah, saya malah bersyukur disuruh nikah cepet, mumpung mas suami belum sadar dari khilafnya, haha.. Saya malah sempat mikir, pacar saya (sebutan mas suami pada saat itu) ragu gak ya, nikah sama saya, haha..

Tapi saya sempat takut saat membayangkan bahwa setelah menikah, step selanjutnya adalah punya anak. Saya khawatir, nantinya hidup saya tidak bebas, mau mudik ribet, mau hang out ribet, apalagi mewujudkan mimpi traveling saya, pasti bakal ribet banget, atau malah ekstrimnya, mimpi traveling tersebut tidak pernah akan terwujud.

Ketakutan yang lain adalah, saya merasa tidak punya sosok keibuan. Hati saya kurang sensitif, terlalu logis, kurang lembut sebagai wanita. Anak kecil saja, entah itu anak teman atau tetangga, sering nangis kalau deket sama saya. Seolah, saya punya magnet negatif terhadap anak kecil.

Ketakutan selanjutnya, saya merasa tidak punya bekal untuk menjadi seorang ibu, saya tidak punya pengetahuan dan ketrampilan, memasak saja saya tidak bisa. Saya khawatir, saya tidak bisa membesarkan anak kami dengan baik, seperti ibu-ibu yang lain.
Saya juga takut dengan biaya kehidupan yang semakin mahal. Saya khawatir, apakah saya bisa memberikan yang terbaik untuk anak kami nanti.
Dan ketakutan yang terakhir adalah, apakah dengan adanya anak, saya, kami, akan tetap bahagia? Saat ini kami memang hanya berdua, tapi kami sudah merasa bahagia. Saya malah khawatir, mengurus anak dengan segala kerepotan dan perbedaan pendapat dalam pola pengasuhan, ternyata hanya membuat kebahagiaan kami berkurang.

Tapi di sisi lain, belum mempunyai anak juga menjadi ketakutan tersendiri untuk saya. Ketakutan pertama adalah tidak disayang oleh mertua, haha, cemen ya.. Karena, suami saya adalah anak pertama dan jarak usia dengan adiknya adalah 7 tahun. Anak pertama kami akan menjadi cucu pertama mertua. Semua saudara mertua sudah pada punya cucu, hanya mertua saya saja yang belum. Tapi makin lama mengenal mertua, saya yakin bahwa mertua saya tidak seperti yang saya khawatirkan.

Kedua, saya takut suatu hari suami saya akan mengajukan proposal poligami atau malah meninggalkan saya, untuk cari istri lain yang bisa memberikan keturunan, serem gak sih? Tapi kemudian kata suami, 1 istri aja udah ngrepotin, haha.. Dan dia bilang, dia sudah bahagia bersama saya. Dan kalaupun punya anak, maunya dengan saya, bukan dengan wanita lain. Gombal ah, tapi saya teriak aamiin nya kenceng banget, hehe..

Ketiga, saya takut membayangkan masa tua saya. Ketika mungkin mas suami sudah duluan menghadapNya, dan saya ditinggalkan sendiri. Ya sebenarnya punya anak pun, suatu saat kita akan ditinggalkan oleh mereka. Tapi tanpa ada yang mengunjungi di hari penting, di saat kita tua nanti, kok rasanya hampa. Untuk yang satu ini, saya berusaha menghibur diri saya, nanti di Panti Jompo, pasti banyak yg mengunjungi kok, hehe..

Kalau dilihat, hidup saya jadi penuh ketakutan yaa.. Punya anak takut, ga punya anak juga takut, aahh labil nih, haha.. Tapi kalau boleh jujur nih, kalau ditanya apakah saya ingin punya anak, jawabannya adalah “biasa saja, dikasih Alhamdulillah, kalau nggak ya gapapa”. Malah pernah terbersit dalam pikiran saya “kayaknya mending ga punya anak deh, jadi ga perlu capek-capek usaha juga”. Cuman, mas suami menyadarkan saya, bahwa memperjuangkan keturunan adalah ibadah, hal ini yang membuat saya menjadi semangat untuk program hamil, dan saya berusaha untuk mengalahkan semua ketakutan saya.

Tetapi memang, keinginan punya anak belum bisa mengalahkan keinginan saya untuk traveling. Saya sebenarnya agak malu mengakuinya, tapi saya ingat benar, di tahun 2013 saat kami umroh, doa saya di depan ka’bah adalah:
1.    Semoga mimpi saya keliling dunia terutama melihat Menara Eiffel terwujud
2.    Semoga kami diberikan keturunan kalau memang itu yang terbaik untuk kami
3.    Semoga Bapak saya yang saat itu sedang sakit, akan diberikan yang terbaik oleh Allah
Kebaca kan, yang di poin paling atas isinya apa, hahaha.. Dan mungkin banyak yang berpikir, betapa durhakanya saya sebagai anak, kok doa Bapak nya ditaruh di nomor 3. Yah itu kan hanya urutan, meskipun hanya nomor 3, tapi doa itulah yang paling membuat saya bercucuran air mata.
Dan, kehidupan saya kemudian, tertata dengan sendirinya (sebenernya sadar banget sih, yang nata pasti Allah :-)). 2 bulan setelah umroh, Allah menjawab doa saya untuk Bapak, Allah memberikan yang terbaik untuk Bapak, dengan memanggilnya kembali ke pangkuanNya.
Anak-anak kecil yang semula selalu menangis kalau melihat saya, entah kenapa sekarang kok jadi gampang deket sama saya, mereka selalu senyam-senyum dan nempel sama saya. Dan sayapun yang biasanya gregetan kalau dengar anak kecil nangis atau teriak-teriak, sekarang malah jadi gemes.
KPR rumah lunas, dari yang seharusnya 15 tahun, kami berhasil melunasinya dalam waktu 5 tahun 3 bulan. Kami tidak punya hutang lagi, sehingga saya bisa menabung untuk biaya pendidikan anak.
Secara alami, hati saya dan mas suami terpanggil untuk mengikuti kelas parenting. Bahkan saat itu di kelas, hanya kami satu-satunya pasangan yang belum mempunyai anak. Dengan mengikuti beberapa kelas parenting, saya merasa yakin bahwa saya pasti bisa membesarkan anak dengan baik. Ketakutan tidak mampu menjadi ibu mulai hilang.
Dan yang paling tidak disangka adalah, mimpi saya untuk melihat Eiffel Tower benar-benar terwujud dengan bonus melihat beberapa kota lain di Eropa. Terwujud begitu saja, dengan keputusan yang cukup impulsif tanpa keraguan yang panjang untuk berangkat, meskipun setelah pulangnya, tabungan kami langsung tiris, haha.. Tapi tenang, tabungan ini di luar tabungan untuk anak.

See, Allah selalu mengatur kehidupan kita dengan cara menakjubkan. Perlahan semua ketakutan yang saya rasakan hilang, dan sayapun makin mantab untuk berjuang menjadi seorang ibu..

Semoga keinginan kami, bahwa akan ada seorang anak kecil yang memanggil saya “mama”, dan memanggil mas suami “papaaa.. papaaa”, akan segera terwujud.. Aamiin..

(bersambung..)

Jumat, 18 Desember 2015

Pejuang Keturunan (10) – Unpaid leave..

Perjuangan terus berlanjut, sampailah kami di bulan dimana kami akan melakukan inseminasi yang ke-2, September 2014. Sebelum bulan itu datang, saya berdiskusi dengan mas suami, faktor apa yang menyebabkan inseminasi sebelumnya gagal dan mengapa saya sampai keguguran, serta solusi apa supaya hal tersebut tidak terulang lagi. Sampailah kami pada kesimpulan bahwa mungkin saya terlalu lelah, karena lokasi kantor yang jauh dari rumah. Team di kantorpun sedang tidak lengkap, sehingga saya yang memang suka berpikir menjadi terlalu pemikir, stress maksudnya, hehe..

Akhirnya kami mengambil keputusan, bahwa saya akan unpaid leave dari kantor saya. Unpaid leave adalah cuti tanpa gaji. Berat gak buat saya? Berat lah, yang biasanya gajian, menjadi tidak gajian, padahal kami masih memerlukan dana untuk program hamil. Hanya saja, keputusan memang harus diambil. Saya ajukan surat yang berisi mengenai alasan pengambilan unpaid leave ke atasan saya, di bawah ini. Saya hanya mengajukan ke atasan saya dan yang selanjutnya mengajukan ke level yang lebih tinggi adalah atasan saya.
Alhamdulillah pengajuan saya dikabulkan, sehingga saya dapat melakukan program inseminasi dengan lebih tenang. Proses sama persis dengan proses inseminasi yang pertama. Kalau sebelumnya inseminasi hari ke-2 tidak dilakukan karena saya trauma, kali ini inseminasi hari ke-2 tidak dilakukan karena mas suami sedang dinas ke luar kota, maklum lah, abdi negara, hehe..
Setelah inseminasi dilakukan, saya istirahat di rumah. Benar-benar istirahat, tidak melakukan pekerjaan berat dan hanya melakukan hal-hal yang menyenangkan hati saja, seperti misalnya nonton film Korea.. ;-) Sampai masa tunggu itu berakhir dan ternyata menstruasi saya datang, hiks..

Kecewa..

Saya membayangkan semua waktu, tenaga, biaya yang telah kami korbankan untuk proses tersebut.. Tapi apa mau dikata, mungkin memang belum rejeki.

Setelah itu kami berdiskusi lagi, kira-kira apakah langkah selanjutnya yang akan diambil. Kami sepakat untuk memperpanjang unpaid leave saya, yang semula 1 bulan menjadi 6 bulan. Kali ini, saya mengajukan surat yang ke-2 dengan nothing to lose, benar-benar hanya mengharapkan kebijakan management. Kalau dikasih ya syukur Alhamdulillah, kalau tidak, ya gapapa juga, mungkin memang saya harus masuk kerja. Dan siapa sangka, management berbaik hati untuk mengabulkan permohonan saya, cinta banget deh sama kantor ini, hehe..

Kenapa kok unpaid leave diperpanjang?
Sebenarnya banyak sekali yang menyarankan saya berhenti bekerja, dengan alasan mungkin saya kecapekan, mungkin saya stress. Tetapi jujur, saya belum siap untuk berhenti bekerja. Saya belum terbayang, apa yang nanti akan saya lakukan di rumah. Saya juga tidak yakin, tidak bekerja akan membuat saya lebih bahagia. Tapi tidak ada salahnya juga, kalau saya mencoba stay di rumah untuk sementara. Mungkin metode tersebut bisa berhasil.

Berat ga untuk saya?
Berat lah. Saya sudah 8 tahun bekerja dan saya memang bukan type ibu rumah tangga yang bisa stay di rumah. Sekali lagi, saya harus rela untuk tidak menjadi diri sendiri. Saya juga sadar, bahwa akan banyak kegiatan dan kesempatan di kantor yang akan saya lewatkan. Setiap kali melihat update kolega di sosial media tentang kegiatan di kantor, saya hanya bisa mengelus dada dan menghibur diri sendiri, bahwa sekarang ada hal yang lebih prioritas, let it gooooo..
Selain itu, total pendapatan keluarga hilang 50% tanpa ada persiapan, kalaupun saya harus mencari tambahan, malah melenceng dari tujuan awal unpaid leave yaitu istirahat. Sehingga mau tidak mau, saya juga harus mengatur kembali keuangan keluarga. Cukup tidak cukup ya harus dicukupin, hehe..

Saya habiskan 6 bulan dengan mencoba-coba makanan sehat, berkebun, aerobic, membaca, nonton film, traveling dan kegiatan positif lain yang membuat saya tidak bosan. Saya juga berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah. Obat hormon dan segala terapi medis saya hentikan. Saya benar-benar ingin hidup alami, sehingga fresh secara fisik dan pikiran.
Sarapan sehat..
Hasil berkebun..
Earthing, bersatu dengan alam..
6 bulanpun berlalu tanpa ada hasil. Saya kembali aktif bekerja. Saya sampaikan kepada mas suami, bahwa di 2015 ini saya mau serius bekerja saja, karena saya merasa banyak ketinggalan. Saya juga tidak mau minum obat hormon dulu, karena saya ingin membersihkan diri dari paparan hormon-hormon tersebut. Saya tidak mau, suatu hari nanti saya menyesal, karena terlalu agresif program hamil dengan minum obat hormon, saya malah terkena penyakit yang macam-macam, kanker misalnya. Dan terlalu fokus di program hamil, ternyata membuat saya tidak bahagia, jadi untuk apa melakukan hal yang membuat kita tidak bahagia.

Dari semua usaha yang sudah dilakukan, secara fisik, memang saya belum berhasil hamil. Tapi ada beberapa manfaat yang kami rasakan.

1.    Kami punya banyak waktu untuk orang tua
Kami sempat mengajak Bapak dan Mama saya untuk berlibur ke Yogyakarta dan Bandung. Perjalanan tersebut adalah pengamalan pertama orang tua saya tidur di hotel berbintang. Bahkan, Bapak tak bosan-bosannya berendam di bathtub, haha..
2013, Bapak saya sakit parah. Hampir 3 bulan keluar masuk RS di Jakarta karena Hepatitis B yang sudah sirosis dan ada kanker hatinya pula. Bapak saya tidak punya asuransi, sehingga sebagian besar biaya adalah dari sisa tabungan pensiunan Bapak dan anak-anaknya, terutama kami. Bapak meninggal di 21 Mei 2013 dan dimakamkan di Malang. Mungkin kalau saat itu kami sudah punya anak, waktu kami tidak akan terlalu bebas untuk menyenangkan dan merawat Bapak.

2.    Kami (lebih tepatnya saya), sempat mewujudkan mimpi traveling
Saya suka traveling, terutama dengan tujuan luar negeri. Karena memang saya suka explore daerah baru, kebudayaan baru dan lingkungan baru. Selama pernikahan kami, sambil berjuang untuk program hamil, kami sempat pergi ke Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Hongkong, Macau, Korea Selatan, Jepang. Mimpi traveling tertinggi saya adalah melihat Eiffel Tower di Paris, dan kami berhasil mewujudkannya di Maret 2015 ini. Kalau sudah punya anak, mungkin prioritas kami adalah anak dan pengalaman traveling akan sangat minim
3.    Kami memiliki waktu lebih untuk mempersiapkan diri, baik secara mental ataupun finansial.
Kami sempat mengikuti beberapa kelas parenting, karena kami tidak pernah sekolah untuk jadi orang tua, mumpung masih ada waktu, maka kami mencari ilmu dulu. Meskipun belum terlalu banyak, kami juga telah mempersiapkan tabungan untuk masa depan anak kami jika nanti ada
Maaf abah Ihsan Baihaqi, pose saya gitu banget ya, hehe..
Bersama ibu Elly Risman..

4.    Saya dan mas suami lebih sehat
Secara fisik kami lebih sehat, karena saya dan mas suami mulai mengkonsumsi makanan sehat dan berusaha hidup sehat. Dulu, seriiing banget saya makan fast food, kalau sekarang sebulan sekali belum tentu. Dulu, kalau ga ada ide makan apa, pasti mie instant jadi sasaran, kalau sekarang seminggu sekali belum tentu. Dulu, apapun makanannya, minumannya teh botol, kalau sekarang, lupakan. Saya merubah sarapan saya menjadi perasan lemon hangat dan buah, dan sudah berjalan 4 tahun. Kami juga merubah karbohidrat di rumah dari beras putih menjadi beras merah. Saya sesekali berolah raga, bagi saya, lebih mudah merubah pola makan daripada berolahraga. Sedangkan, mas suami rajin berolahraga, rutin 3x dalam seminggu, karena dia agak susah merubah sarapan bubur ayam dan lontong sayur menjadi buah.
Secara bathin pun kami lebih sehat. Karena sudah melalui banyak hal, kami menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih kuat, lebih bersyukur, lebih positive thinking atas apa yang terjadi dalam kehidupan. Kami juga belajar untuk tidak nge-judge orang atas kondisi mereka saat ini, karena sebenarnya kita tidak tahu apa yang sudah mereka perjuangkan. Kami juga belajar memilah mana omongan orang yang perlu didengar, mana yang kita cuekin saja, karena tidak semua omongan orang itu konstruktif, dan omongan negatif yang mereka katakan tidak bisa kita kontrol, yang bisa kita kontrol adalah, kita mau mendengarkan atau tidak

5.    Hubungan saya dan mas suami lebih dekat, baik hubungan bathin ataupun fisik.
Selama berjuang, kami selalu berkomunikasi secara intensif. Apapun perasaan yang kami rasakan, entah itu sedih, kecewa, marah, bahagia, senang, selalu kami luapkan. Saya dan mas suami yang memang selama ini jarang bertengkar (kalaupun bertengkar, biasanya karena program hamil), menjadi makin dekat dan makin memahami kepribadian satu dengan yang lain.
Kami juga sering melakukan aktivitas bersama. Rasanya kami tidak punya me time, adanya our time. Kalau bahasa Jawa, nyebutnya mimi lan mintuno. Mulai ngemall, nonton bioskop, petualangan kuliner, silaturahmi dengan teman, traveling ke berbagai tujuan, sampai dengan ikut kelas parenting, selalu kami lakukan berdua. Kalau dipikir-pikir, me time hanya kalau saya sedang ngurus tanaman atau ketika mas suami sedang main game.
Untuk urusan seksual pun, kami mengalami perubahan lebih baik. Kalau dulu, jadwal rutin kami adalah saat weekend. Karena weekdays selalu melelahkan dan hanya weekend waktu kami longgar. Kalaupun sedang ML, yang ada di pikiran adalah untuk produksi anak, sehingga mungkin ada tekanan psikologis yang kami rasakan di alam bawah sadar kami. Tapi sejak saya mengambil unpaid leave, kami ML kapanpun kami ingin, tidak memandang weekdays atau weekend, pagi siang atau malam, haha.. Karena tujuan kami bukan produksi melainkan rekreasi, dinikmati aja lah.. Dan kebiasaan ini berlanjut ketika saya mulai kembali bekerja.

6.    Saya dan mas suami lebih nrimo dan pasrah.
Karena berbagai macam usaha telah dilakukan, tapi belum memberikan hasil yang diinginkan. Di lubuk hati yang paling dalam, kami lebih sadar bahwa segala sesuatunya sudah diatur oleh Allah, sudah ada skenarionya. Sengotot apapun kita, kalau Allah belum berkehendak, ya belum aja. Tugas kami hanya berusaha, hasilnya bukan domain kita. Dan kalau boleh jujur, berduapun kami sudah bahagia..

7.    Saya mengenal suami saya lebih baik
Meskipun dari luar terlihat cuek dan judes, sebenarnya suami saya adalah orang yang lembut dan penyayang, dia hampir tidak pernah marah. Jadi kalau sekali dia marah, biasanya saya takut, hehe.. Suami saya ini juga bukan orang yang ekspresif, dia kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya. Sekarang sih sudah mending, dia banyak terpengaruh ke-ekstrovert-an saya. Dulu, wah susah banget untuk tahu dia lagi senang, sedih atau perasaan lainnya. Suami saya juga bukan orang romantis, hal ini membuat saya kadang tidak yakin “nih anak cinta nggak ya, sama saya, hehe”.

Di beberapa proses, ketika kami mengalami kegagalan, seringkali mas suami jadi sasaran kekecewaan dan kemarahan saya.
Mulai kemarahan lisan, sampai kemarahan yang… ah, sedih mbayanginnya..

Saya, “mas, kenapa sih kok kita harus mengalami semua ini. Rasanya Allah tidak adil mas. Kita udah berkorban macam-macam, tapi kok ga berhasil juga. Baik ke orang tua sudah, sedakah juga sudah. Kurang apa kita mas?”

Mas suami, “husss yank, kamu ga boleh suudzon sama Allah seperti itu. Rencana Allah itu pasti yang terbaik. Kita harus positive thinking. Ikhlas sama ketentuan Allah. Kita harus terus sabar yank”

Saya, “ya kamu enak, cuman sumbang sperma doang. Aku mas, yang tiap bulan minum dan suntik obat hormon, aku yang moodnya swing banget, aku yang kena resiko kanker. Aku juga yang tiap bulan diogok-ogok, tindakan ini tindakan itu, aku mas. Kamu ga ngrasain sih”

Mas suami, “yank, kalau bisa, aku mau kok gantiin posisi kamu. Tapi ini kan ga bisa yank. Kamu sedih, aku juga sedih. Tapi kan aku ga boleh nunjukin kesedihan itu ke kamu, sebisa mungkin malah aku menguatkan kamu yank”

Saya… speechless, langsung meluk suami dan minta maaf.

Kalau saya sudah terlalu marah dengan keadaan, kadang rasanya saya ingin memukul sesuatu. Mas suamipun menyediakan dirinya untuk saya pukul. Kadang diberi cover bantal, kadang langsung ke lengan dan badannya. Kalau saya ingat-ingat kembali semua yang telah terjadi, istri durhaka sekali saya ya. Tapi setelah kejadian saya selalu minta maaf ke mas suami. Mas suami yang sangat memahami perasaan saya, Alhamdulillah selalu memaafkan.

Dari semua kejadian itulah, saya yakin bahwa suami saya punya cinta seluas samudera untuk saya.. *lebay

Ya, begitu hebatnya skenario Allah. Menyusun kehidupan kita dengan begitu sempurna. Yang bisa kita lakukan adalah positive thinking atas segala rencanaNya.

Kamipun lanjut menikmati kehidupan..
Tahun 2015 ini kami bye dulu dari segala program hamil, sampai ketemu lagi dengan usg transvaginal, obat hormon dan kawan-kawannya di tahun 2016..
(bersambung..)