Saya selalu terenyuh kalau melihat pemandangan
seperti ini. Bahkan pada beberapa kejadian, saya secara tidak sadar menitikkan
air mata.
Saya teringat Bapak saya..
Waktu itu sekitar tahun 1994, saya masih bersekolah
di Sekolah Dasar. Seperti biasanya, saya pulang sekolah dengan berjalan kaki. Ada
2 rute yang bisa dipilih. Pertama adalah rute yang melewati pedestrian di
sebuah jalan besar, jalan Bandung dan jalan Bogor. Atau 1 lagi rute yang
melewati perumahan penduduk, melewati jalan Banten dan jalan Pandeglang. Hari itu,
saya memilih rute yang ke-2.
Bapak saya bekerja di perusahaan air minum kota
Malang. Sebelum menikah, banyak pekerjaan yang sudah dilakoni Bapak, mulai di
pabrik pemotongan kayu, pabrik pembalut, sampai dengan menjadi tukang becak pun
pernah. Sampai kemudian, saat menikah, di usianya yang ke-29, Bapak dibantu
oleh tetangga (kami tinggal di sebuah gang kecil di samping rumah besar beliau),
yang saat itu menjadi kepala atau direktur (saya lupa apa tepatnya nama
jabatannya) perusahaan air minum tersebut. Bapak yang lulusan STM, akhirnya dibantu
dan diajak bekerja. Tapi memang mulai dari nol. Saya tidak tahu apa sebutannya, mungkin
seperti teknisi gitu ya, tapi intinya, kalau ada pipa air bersih yang bocor, baik
di jalan raya ataupun perumahan penduduk, maka Bapak dan teman-temannya akan
menggali jalan tersebut dan memperbaiki pipa tersebut sampai tidak bocor lagi.
Dan siang itu, sepulang sekolah, kami bertemu. Dari
kejauhan, saya melihat Bapak sedang menggali tanah di jalan Pandeglang. Badan
Bapak basah semua, entah hanya karena terkena air bocoran pipa atau bercampur
dengan peluh Bapak. Kaosnya pun kotor semua, berwarna coklat terkena noda
lumpur galian tanah. Dari jauh saya berteriak memanggil Bapak, menghambur
mendekati beliau dan kemudian jongkok di tepi galian tanah.
“Paaaakkk, Bapaaakkk..”, teriak saya sambil
kemudian salim ke Bapak.
“Eh nduk, wis mulih a?”, Bapak menghentikan pekerjaannya
sejenak dan mengajak saya ngobrol.
“Wis pak”
“Karo sopo nduk?”
“Karo koncoku pak. Heee, iki lho Bapakku..”, dengan
bangganya saya mengenalkan Bapak saya ke teman saya. Waktu itu saya tidak tahu
apa isi hati teman saya, apakah dia biasa saja atau malah mencibir pekerjaan
Bapak saya. Tapi satu yang saya rasakan saat itu, saya bangga mengenalkan Bapak
saya.
“Rek, iki lho anakku”, sekarang gantian Bapak yang
mengenalkan saya ke teman-temannya.
“Pinter iki anakku, rangking 1 terus ndik kelas. Trus
mariki tek budal nang Jepang”, Bapak mulai membanggakan anaknya.
Tetapi teman-temannya tidak percaya,
“Mosok anakmu pinter Mbon, lha Bapak e kok ngene? Hahahaha”.
Saking hitamnya kulit Bapak, Bapak dipanggil Ambon
oleh teman-temannya. Dan teman-teman Bapak tidak percaya, bahwa Bapak yang
hanya jadi tukang gali pipa bocor, bisa punya anak yang kata Bapak pintar.
“Lho, ga percoyo rek. Masio penggaweanku ngene,
tapi iso rek, duwe anak pinter” kata Bapak sambil terus bercanda dengan
teman-temannya. Meskipun melakukan pekerjaan berat, tetapi mereka tampak sangat
kompak dan bahagia, mungkin itulah arti kesetiakawanan yang sebenarnya, susah
bareng-bareng, senang ya bareng-bareng juga.
“Pak, mulih jam piro?”
“Yo engkok lek bocor e wis mari nduk”
“Yo wis pak, aku tak mulih sik yoo”
“Yo nduk, ati-ati ndik dalan yo”, saya salim lagi
ke Bapak dan kemudian beranjak pergi sambil dadah-dadah. Dan saya baru bertemu
dengan Bapak di rumah menjelang maghrib.
Entah kenapa, ingatan ini terus melekat di pikiran
saya sampai saat ini. Mungkin karena saking senangnya dibanggakan oleh Bapak di
hadapan teman-temannya, atau saking bangganya saya melihat seorang Bapak yang
bekerja keras untuk memberikan kehidupan yang layak bagi keluarganya.
Tapi satu hal yang pasti, saya tidak pernah malu,
bahkan saya bangga punya Bapak yang bekerja sebagai tukang gali pipa bocor. Karena
bagi saya, Bapak adalah pahlawan saya.
He was my Super Mario Bros, hehe..
*salam kangen buat Bapak..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar