Jumat, 27 Januari 2017

Rantau UK (1) - The Biggest Dreams Come True..

Bukan, judul artikel saya gunakan Bahasa Inggris, bukan karena mentang-mentang saya sedang tinggal di UK, bukan. Tapi karena, kalau pakai Bahasa Indonesia kok kesannya terlalu dramatis ya, hehe..

Tapi memang benar, selain akhirnya punya anak, bisa tinggal di luar negeri, sejauh ini adalah mimpi terbesar saya, yang diwujudkan oleh Allah. Sebelum saya bercerita mengenai kehidupan saya di sini, saya ingin sharing bagaimana awalnya saya bisa punya mimpi setinggi ini.

Saya dilahirkan di keluarga sederhana. Pendidikan Bapak dan Mama saya tidak tinggi, Bapak lulusan STM dan Mama lulusan MTS. Bapak dan Mama hanya pernah merantau di Jakarta, bekerja sebagai pegawai pabrik, yang akhirnya mempertemukan mereka sebagai jodoh. Setelah menikah, kembali dan tinggal di Malang. Bapak bekerja sebagai pegawai PDAM golongan rendah dan Mama sebagai Ibu Rumah Tangga yang kadang membantu memasak di rumah Pejabat Sekda Malang (saat itu), atau kadang nyambi jualan batik yang keuntungannya hanya baju batik untuk dipakai anaknya, itupun kalau semua pembeli akhirnya melunasi semua cicilan batiknya, hihi..

Dengan segala keterbatasan tersebut, keluarga kami tidak pernah traveling. Jangankan traveling, untuk makan sehari-hari saja Mama saya harus berhemat. Kalau sedang ada rejeki dan masak cumi-cumi nih, harus pakai metode penjatahan. Sekali makan, hanya boleh ambil 5 potong kecil cumi-cumi. Sepotong cumi adalah 1 bagian dari cumi-cumi yang diiris menjadi 3 bagian, kepala-badan-ekor. Begitupun kalau Bapak dapat rejeki lebih dari tetangga yang minta diperbaiki pipa airnya, sebelum pulang ke rumah biasanya Bapak beli sate ayam dulu, dan masing-masing anak boleh ambil 3 tusuk, tidak lebih.

Faktor lain adalah karena saat kecil, saya kudet banget. Saya bukan tipe anak petualang, sangat berbeda dengan mbak saya. Kalau mbak saya hobinya main ke luar rumah, layangan, kelereng, umbul, sampai ke gang sebelah, sampai ke pinggir sungai, sampe berantem dengan teman mainnya yang cowok, haha. Kalau saya, di rumah, baca bobo, main boneka, dengerin radio, atau belajar. Kalaupun main, biasanya mampir ke rumah teman sepulang sekolah dan kemudian main di dalam rumah. Saya sampai tidak kenal lho, dengan tetangga saya sekampung yang bagian belakang-belakang.

Kekudetan ini makin menjadi, karena ternyata saya hobi banget mabuk darat, haha. Jangankan perjalanan jauh, wong ke pasar besar naik mikrolet aja, Mama saya harus sedia tas kresek. Alhasil, kalau Mama saya pergi ke pasar atau rekreasi dengan ibu-ibu pkk, saya tidak pernah diajak, karena pasti akan merepotkan. Mama lebih memilih mengajak adik saya. Sayapun sebenarnya senang tidak diajak, karena kalau mau ikut dan nanti muntah-muntah saat perjalanan, saya juga merasa tersiksa. Dan image sebagai anak rumahan, semakin melekat pada saya.

Saya dipaksa berubah oleh keadaan, saat kelas 5 SD. Saat itu saya terpilih menjadi wakil Indonesia untuk mengikuti International Youth Choir Festival di Jepang, sebagian ceritanya bisa dibaca di sini. Acara diselenggarakan pada bulan Agustus 1994. Sebagai persiapan, maka latihan paduan suara harus dilakukan, di Surabaya, sejak bulan April. Saya dan orang tua tidak ada pilihan, kalau mau ikut ke Jepang ya harus ikut latihan. Karena hal tersebut akan jadi prestasi yang sangat membanggakan bagi keluarga sederhana kami, maka kamipun berjuang. Saya berjuang untuk mengatasi mabuk darat saya, sedangkan orang tua berjuang untuk mempersiapkan uang transport dan akomodasinya. Alhamdulillah semua berjalan dengan baik. Secara finansial, orang tua tidak sampai berhutang untuk transport pp Surabaya-Malang dan biaya hidup selama di Surabaya. Dan hikmahnya, hobi mabuk darat saya perlahan hilang. Sayapun menemukan cara, kalau mau bebas dari mabuk darat, maka selama perjalanan harus tidur.

Perjalanan ke Jepang tersebut adalah perjalanan jauh saya yang pertama, naik pesawat yang pertama dan keluar negeri yang pertama. Pengalaman itu membuka mata saya, bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Saya dari keluarga sederhana yang awalnya pe-mabuk darat dan tidak berani untuk bermimpi tinggi, terbuka cakrawalanya, dan mengantarkan saya pada mimpi selanjutnya bahwa suatu saat saya harus ke Jepang lagi.

10 tahun kemudian, mimpi kecil itu jadi nyata. Saya menjadi wakil dari kampus untuk mengikuti Academic Exchange dengan University of Miyazaki Jepang. Dan melambunglah mimpi saya menjadi lebih tinggi lagi, bukan hanya ingin keluar negeri, tapi ingin tinggal di luar negeri. Mungkin kalau saya lebih sabar lagi, mimpi itu akan jadi nyata, karena saat itu kampus punya rencana untuk meregenerasi saya menjadi dosen. Hanya saja, saya berhadapan dengan realita bahwa saya butuh bekerja dan mimpi bekerja ada di Jakarta, maka saya melewatkan kesempatan itu.

Bersama Pak Dekan, PD 1, PD 3  Fakultas Teknik dan team akademisi dari University of Miyazaki

Mimpi tinggal di luar negeri masih ada di pikiran saya, dan akhirnya saya lampiaskan dalam bentuk traveling. Saya dan suami tidak punya harta yang berlimpah, tapi kami suka traveling. Kalau ada uang lebih, biasanya traveling lebih prioritas daripada membeli asset atau barang-barang bermerk. Seringkali karena kenekatan kami, setiap kali pulang dari traveling, tabungan kami tiris, haha. Traveling kami biasanya paling cepat 3 hari, paling lama 2 minggu. Dengan traveling, kita bisa melihat kehidupan di luar sana , lebih open mind dan lebih menghargai perbedaan. Bonusnya, hubungan suami istri juga bisa menjadi lebih dekat. Tapi bagi saya, traveling itu hanya singgah, rasanya pasti akan tetap berbeda dengan tinggal menetap. Jadi, mimpi untuk bisa tinggal di luar negeri, tetap tidak tergantikan.

Saya sadar, untuk mencapai mimpi tinggal di luar negeri, akan lebih sulit kalau saya yang mengejar. Kondisi pekerjaan saya tidak memungkinkan. Dan yang lebih terbuka kesempatannya adalah suami saya. Mas suami adalah abdi negara yang belum juga menambah ilmunya karena kesibukan pekerjaan. Saya selalu memotivasi dia untuk mencari beasiswa dan melanjutkan kuliah di luar negeri. Bukan karena universitas di luar negeri pasti lebih bagus daripada universitas di Indonesia, tapi dengan kuliah di luar negeri, kita juga akan dapat tambahan ilmu kehidupan dan keluar dari comfort zone kita. Seolah-olah saya jadi istri yang bijaksana ya, padahal ada agenda tersembunyi, haha..

Mas suami pun mulai mencari beasiswa, beberapa kali tes dia ikuti, tetapi gagal. Sampai akhirnya, 4 hari setelah Reika lahir, dia mengikuti seleksi yang ke-4. Awalnya dia ragu untuk mengikuti seleksi tersebut, karena baru saja memiliki anak yang sudah lama diperjuangkan, dan kemudian dia bertanya kepada saya,
“Kalau beasiswa ini lulus, trus aku berangkat ke luar negeri gimana?”
“ya ambil lah!”
haha, tanpa ragu saya menjawab. Wong ini impian bagi saya, masak mas suami masih ragu sih. Dan kemudian, Allah mengabulkan usaha dan doa kami. Mas suami akhirnya mendapatkan beasiswa. Alhamdulillah semua proses dilancarkan, sejak saat seleksi sampai dengan keberangkatan, sepertinya ini memang rejeki anak.

Penyemangat mas suami saat ikut tes beasiswa

Saya bagaimana?
Awalnya saya ragu untuk menemani mas suami, karena saya masih aktif bekerja, karena saya masih merasa perlu untuk mengaktualisasikan diri, karena saya masih merasa perlu berkarya, karena kami masih merasa perlu gajinya. Hanya saja kemudian saya berpikir, betapa bodohnya saya kalau saya sampai tidak ikut. Ini Allah sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk mewujudkan mimpi saya lho, melalui suami saya. Kesempatan sudah di depan mata, masak tidak diambil sih. Dan pertimbangan lain adalah, mendampingi suami itu ibadah, masak dikasih kesempatan untuk panen pahala, ga mau sih.

Setelah berpikir beberapa waktu, menimbang-nimbang pro dan kontranya, akhirnya saya putuskan untuk menemani suami tinggal di luar negeri, dengan konsekuensi saya harus resign dari pekerjaan saya. Keputusan meninggalkan pekerjaan pertama yang sudah saya jalani 10 tahun ini, berat untuk saya. Apalagi tepat sebelum saya mengajukan resign, ada tawaran posisi menarik yang disampaikan oleh pak Direktur. Hanya saja, mengikuti kata hati dan meraih mimpi terasa lebih menggiurkan, keluar dari comfort zone terasa lebih menantang. Dan ini akan menjadi pengalaman hidup yang mungkin kesempatannya tidak akan datang untuk kedua kali, kecuali jika Allah mengijinkan.

Poster hasil karya mas Budi, OB super kreatif di Tendean. Bikin terharu..

So, here I am. Sudah 2 bulan tinggal di Birmingham, UK. Dan tidak sedetikpun menyesali keputusan yang telah saya buat. Bahkan sangat bersyukur, karena my biggest dreams come true, finally ..

Baru sah kalau sudah foto di red telephone box, haha..

26 Januari 2017, Birmingham, UK


*sebenarnya info lokasi menulis seperti di atas juga membuat mimpi saya makin kenceng. Seringkali saya melihat penulis yang tulisannya menjadi viral di fb, lokasi menulisnya yang dari luar negeri ditulis di akhir tulisannya. “ah, suatu saat saya juga pasti bisa seperti itu”, batin saya. Impian cemen tapi powerful, alhamdulillah ..

3 komentar:

  1. take me there pleaseeeee.... ��������

    BalasHapus
  2. Pembaca di maret 2019😘😘😘 takjub dengan tulisanmu mbak sisil. Reika❤❤❤

    BalasHapus