Perjuangan
terus berlanjut, sampailah kami di bulan dimana kami akan melakukan inseminasi
yang ke-2, September 2014. Sebelum bulan itu datang, saya berdiskusi dengan mas suami, faktor apa yang menyebabkan inseminasi sebelumnya gagal dan mengapa saya
sampai keguguran, serta solusi apa supaya hal tersebut tidak terulang lagi.
Sampailah kami pada kesimpulan bahwa mungkin saya terlalu lelah, karena lokasi
kantor yang jauh dari rumah. Team di kantorpun sedang tidak lengkap, sehingga
saya yang memang suka berpikir menjadi terlalu pemikir, stress maksudnya,
hehe..
Akhirnya
kami mengambil keputusan, bahwa saya akan unpaid leave dari kantor saya. Unpaid
leave adalah cuti tanpa gaji. Berat gak buat saya? Berat lah, yang biasanya
gajian, menjadi tidak gajian, padahal kami masih memerlukan dana untuk program
hamil. Hanya saja, keputusan memang harus diambil. Saya ajukan surat yang
berisi mengenai alasan pengambilan unpaid leave ke atasan saya, di bawah ini.
Saya hanya mengajukan ke atasan saya dan yang selanjutnya mengajukan ke level
yang lebih tinggi adalah atasan saya.
Alhamdulillah
pengajuan saya dikabulkan, sehingga saya dapat melakukan program inseminasi
dengan lebih tenang. Proses sama persis dengan proses inseminasi yang pertama.
Kalau sebelumnya inseminasi hari ke-2 tidak dilakukan karena saya trauma, kali
ini inseminasi hari ke-2 tidak dilakukan karena mas suami sedang dinas ke luar
kota, maklum lah, abdi negara, hehe..
Setelah
inseminasi dilakukan, saya istirahat di rumah. Benar-benar istirahat, tidak
melakukan pekerjaan berat dan hanya melakukan hal-hal yang menyenangkan hati
saja, seperti misalnya nonton film Korea.. ;-) Sampai masa tunggu itu berakhir dan ternyata
menstruasi saya datang, hiks..
Kecewa..
Saya
membayangkan semua waktu, tenaga, biaya yang telah kami korbankan untuk proses
tersebut.. Tapi apa mau dikata, mungkin memang belum rejeki.
Setelah
itu kami berdiskusi lagi, kira-kira apakah langkah selanjutnya yang akan
diambil. Kami sepakat untuk memperpanjang unpaid leave saya, yang semula 1
bulan menjadi 6 bulan. Kali ini, saya mengajukan surat yang ke-2 dengan nothing
to lose, benar-benar hanya mengharapkan kebijakan management. Kalau dikasih ya
syukur Alhamdulillah, kalau tidak, ya gapapa juga, mungkin memang saya harus
masuk kerja. Dan siapa sangka, management berbaik hati untuk mengabulkan
permohonan saya, cinta banget deh sama kantor ini, hehe..
Kenapa
kok unpaid leave diperpanjang?
Sebenarnya
banyak sekali yang menyarankan saya berhenti bekerja, dengan alasan mungkin
saya kecapekan, mungkin saya stress. Tetapi jujur, saya belum siap untuk
berhenti bekerja. Saya belum terbayang, apa yang nanti akan saya lakukan di
rumah. Saya juga tidak yakin, tidak bekerja akan membuat saya lebih bahagia. Tapi
tidak ada salahnya juga, kalau saya mencoba stay di rumah untuk sementara.
Mungkin metode tersebut bisa berhasil.
Berat
ga untuk saya?
Berat
lah. Saya sudah 8 tahun bekerja dan saya memang bukan type ibu rumah tangga
yang bisa stay di rumah. Sekali lagi, saya harus rela untuk tidak menjadi diri
sendiri. Saya juga sadar, bahwa akan banyak kegiatan dan kesempatan di kantor
yang akan saya lewatkan. Setiap kali melihat update kolega di sosial media
tentang kegiatan di kantor, saya hanya bisa mengelus dada dan menghibur diri
sendiri, bahwa sekarang ada hal yang lebih prioritas, let it gooooo..
Selain
itu, total pendapatan keluarga hilang 50% tanpa ada persiapan, kalaupun saya
harus mencari tambahan, malah melenceng dari tujuan awal unpaid leave yaitu
istirahat. Sehingga mau tidak mau, saya juga harus mengatur kembali keuangan
keluarga. Cukup tidak cukup ya harus dicukupin, hehe..
Saya
habiskan 6 bulan dengan mencoba-coba makanan sehat, berkebun, aerobic, membaca,
nonton film, traveling dan kegiatan positif lain yang membuat saya tidak bosan.
Saya juga berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah. Obat hormon dan segala
terapi medis saya hentikan. Saya benar-benar ingin hidup alami, sehingga fresh
secara fisik dan pikiran.
Sarapan sehat..
Hasil berkebun..
Earthing, bersatu dengan alam..
6
bulanpun berlalu tanpa ada hasil. Saya kembali aktif bekerja. Saya sampaikan
kepada mas suami, bahwa di 2015 ini saya mau serius bekerja saja, karena saya merasa
banyak ketinggalan. Saya juga tidak mau minum obat hormon dulu, karena saya
ingin membersihkan diri dari paparan hormon-hormon tersebut. Saya tidak mau,
suatu hari nanti saya menyesal, karena terlalu agresif program hamil dengan
minum obat hormon, saya malah terkena penyakit yang macam-macam, kanker
misalnya. Dan terlalu fokus di program hamil, ternyata membuat saya tidak bahagia,
jadi untuk apa melakukan hal yang membuat kita tidak bahagia.
Dari
semua usaha yang sudah dilakukan, secara fisik, memang saya belum berhasil
hamil. Tapi ada beberapa manfaat yang kami rasakan.
1.
Kami
punya banyak waktu untuk orang tua
Kami sempat mengajak Bapak dan
Mama saya untuk berlibur ke Yogyakarta dan Bandung. Perjalanan tersebut adalah
pengamalan pertama orang tua saya tidur di hotel berbintang. Bahkan, Bapak tak
bosan-bosannya berendam di bathtub, haha..
2013, Bapak saya sakit parah.
Hampir 3 bulan keluar masuk RS di Jakarta karena Hepatitis B yang sudah sirosis
dan ada kanker hatinya pula. Bapak saya tidak punya asuransi, sehingga sebagian
besar biaya adalah dari sisa tabungan pensiunan Bapak dan anak-anaknya,
terutama kami. Bapak meninggal di 21 Mei 2013 dan dimakamkan di Malang. Mungkin
kalau saat itu kami sudah punya anak, waktu kami tidak akan terlalu bebas untuk menyenangkan dan merawat Bapak.
2.
Kami
(lebih tepatnya saya), sempat mewujudkan mimpi traveling
Saya suka traveling, terutama
dengan tujuan luar negeri. Karena memang saya suka explore daerah baru,
kebudayaan baru dan lingkungan baru. Selama pernikahan kami, sambil berjuang
untuk program hamil, kami sempat pergi ke Singapura, Malaysia, Thailand,
Vietnam, Hongkong, Macau, Korea Selatan, Jepang. Mimpi traveling tertinggi saya
adalah melihat Eiffel Tower di Paris, dan kami berhasil mewujudkannya di Maret
2015 ini. Kalau sudah punya anak, mungkin prioritas kami adalah anak dan
pengalaman traveling akan sangat minim
3.
Kami
memiliki waktu lebih untuk mempersiapkan diri, baik secara mental ataupun
finansial.
Kami sempat mengikuti beberapa kelas parenting, karena kami tidak
pernah sekolah untuk jadi orang tua, mumpung masih ada waktu, maka kami mencari
ilmu dulu. Meskipun belum terlalu banyak, kami juga telah mempersiapkan
tabungan untuk masa depan anak kami jika nanti ada
Maaf abah Ihsan Baihaqi, pose saya gitu banget ya, hehe..
Bersama ibu Elly Risman..
4.
Saya
dan mas suami lebih sehat
Secara fisik kami lebih sehat,
karena saya dan mas suami mulai mengkonsumsi makanan sehat dan berusaha hidup sehat. Dulu, seriiing
banget saya makan fast food, kalau sekarang sebulan sekali belum tentu. Dulu,
kalau ga ada ide makan apa, pasti mie instant jadi sasaran, kalau sekarang
seminggu sekali belum tentu. Dulu, apapun makanannya, minumannya teh botol,
kalau sekarang, lupakan. Saya merubah sarapan saya menjadi perasan lemon hangat
dan buah, dan sudah berjalan 4 tahun. Kami juga merubah karbohidrat di rumah
dari beras putih menjadi beras merah. Saya sesekali berolah raga, bagi saya,
lebih mudah merubah pola makan daripada berolahraga. Sedangkan, mas suami rajin
berolahraga, rutin 3x dalam seminggu, karena dia agak susah merubah sarapan
bubur ayam dan lontong sayur menjadi buah.
Secara bathin pun kami lebih
sehat. Karena sudah melalui banyak hal, kami menjadi pribadi yang lebih sabar,
lebih kuat, lebih bersyukur, lebih positive thinking atas apa yang terjadi
dalam kehidupan. Kami juga belajar untuk tidak nge-judge orang atas kondisi
mereka saat ini, karena sebenarnya kita tidak tahu apa yang sudah mereka
perjuangkan. Kami juga belajar memilah mana omongan orang yang perlu didengar,
mana yang kita cuekin saja, karena tidak semua omongan orang itu konstruktif,
dan omongan negatif yang mereka katakan tidak bisa kita kontrol, yang bisa kita
kontrol adalah, kita mau mendengarkan atau tidak
5.
Hubungan
saya dan mas suami lebih dekat, baik hubungan bathin ataupun fisik.
Selama berjuang, kami selalu
berkomunikasi secara intensif. Apapun perasaan yang kami rasakan, entah itu
sedih, kecewa, marah, bahagia, senang, selalu kami luapkan. Saya dan mas suami
yang memang selama ini jarang bertengkar (kalaupun bertengkar, biasanya karena
program hamil), menjadi makin dekat dan makin memahami kepribadian satu dengan
yang lain.
Kami juga sering melakukan
aktivitas bersama. Rasanya kami tidak punya me time, adanya our time. Kalau
bahasa Jawa, nyebutnya mimi lan mintuno. Mulai ngemall, nonton bioskop,
petualangan kuliner, silaturahmi dengan teman, traveling ke berbagai tujuan, sampai dengan ikut
kelas parenting, selalu kami lakukan berdua. Kalau dipikir-pikir, me time hanya
kalau saya sedang ngurus tanaman atau ketika mas suami sedang main game.
Untuk urusan seksual pun, kami
mengalami perubahan lebih baik. Kalau dulu, jadwal rutin kami adalah saat
weekend. Karena weekdays selalu melelahkan dan hanya weekend waktu kami
longgar. Kalaupun sedang ML, yang ada di pikiran adalah untuk produksi anak,
sehingga mungkin ada tekanan psikologis yang kami rasakan di alam bawah sadar
kami. Tapi sejak saya mengambil unpaid leave, kami ML kapanpun kami ingin,
tidak memandang weekdays atau weekend, pagi siang atau malam, haha.. Karena
tujuan kami bukan produksi melainkan rekreasi, dinikmati aja lah.. Dan
kebiasaan ini berlanjut ketika saya mulai kembali bekerja.
6.
Saya
dan mas suami lebih nrimo dan pasrah.
Karena berbagai macam usaha
telah dilakukan, tapi belum memberikan hasil yang diinginkan. Di lubuk hati
yang paling dalam, kami lebih sadar bahwa segala sesuatunya sudah diatur oleh
Allah, sudah ada skenarionya. Sengotot apapun kita, kalau Allah belum berkehendak,
ya belum aja. Tugas kami hanya berusaha, hasilnya bukan domain kita. Dan kalau
boleh jujur, berduapun kami sudah bahagia..
7.
Saya
mengenal suami saya lebih baik
Meskipun dari luar terlihat
cuek dan judes, sebenarnya suami saya adalah orang yang lembut dan penyayang,
dia hampir tidak pernah marah. Jadi kalau sekali dia marah, biasanya saya
takut, hehe.. Suami saya ini juga bukan orang yang ekspresif, dia kesulitan
untuk mengungkapkan perasaannya. Sekarang sih sudah mending, dia banyak
terpengaruh ke-ekstrovert-an saya. Dulu, wah susah banget untuk tahu dia lagi
senang, sedih atau perasaan lainnya. Suami saya juga bukan orang romantis, hal
ini membuat saya kadang tidak yakin “nih anak cinta nggak ya, sama saya, hehe”.
Di beberapa proses, ketika kami mengalami kegagalan, seringkali mas suami jadi sasaran kekecewaan dan kemarahan saya.
Mulai kemarahan lisan, sampai
kemarahan yang… ah, sedih mbayanginnya..
Saya, “mas, kenapa sih kok kita
harus mengalami semua ini. Rasanya Allah tidak adil mas. Kita udah berkorban
macam-macam, tapi kok ga berhasil juga. Baik ke orang tua sudah, sedakah juga
sudah. Kurang apa kita mas?”
Mas suami, “husss yank, kamu ga
boleh suudzon sama Allah seperti itu. Rencana Allah itu pasti yang terbaik.
Kita harus positive thinking. Ikhlas sama ketentuan Allah. Kita harus terus
sabar yank”
Saya, “ya kamu enak, cuman
sumbang sperma doang. Aku mas, yang tiap bulan minum dan suntik obat hormon,
aku yang moodnya swing banget, aku yang kena resiko kanker. Aku juga yang tiap
bulan diogok-ogok, tindakan ini tindakan itu, aku mas. Kamu ga ngrasain sih”
Mas suami, “yank, kalau bisa,
aku mau kok gantiin posisi kamu. Tapi ini kan ga bisa yank. Kamu sedih, aku
juga sedih. Tapi kan aku ga boleh nunjukin kesedihan itu ke kamu, sebisa
mungkin malah aku menguatkan kamu yank”
Saya… speechless, langsung
meluk suami dan minta maaf.
Kalau saya sudah terlalu marah
dengan keadaan, kadang rasanya saya ingin memukul sesuatu. Mas suamipun
menyediakan dirinya untuk saya pukul. Kadang diberi cover bantal, kadang
langsung ke lengan dan badannya. Kalau saya ingat-ingat kembali semua yang
telah terjadi, istri durhaka sekali saya ya. Tapi setelah kejadian saya selalu
minta maaf ke mas suami. Mas suami yang sangat memahami perasaan saya,
Alhamdulillah selalu memaafkan.
Dari semua kejadian itulah,
saya yakin bahwa suami saya punya cinta seluas samudera untuk saya.. *lebay
Ya,
begitu hebatnya skenario Allah. Menyusun kehidupan kita dengan begitu sempurna.
Yang bisa kita lakukan adalah positive thinking atas segala rencanaNya.
Kamipun
lanjut menikmati kehidupan..
Tahun
2015 ini kami bye dulu dari segala program hamil, sampai ketemu lagi dengan usg
transvaginal, obat hormon dan kawan-kawannya di tahun 2016..
(bersambung..)
Bagus banget mbak sisil blognya. Yang kemaren2 selalu stress mikirin hal ini itu dan bolak balik ke dokter lab dll. Jadi punya semangat baru dan positive thinking setelah baca 10 cerita. Ditunggu cerita selanjutnya mbak :)
BalasHapusMakasih mbak Putri..
HapusAlhamdulillah kalau memang ceritanya bermanfaat..
Semangat terus ya mbak, anggap saja perjuangan ini ibadah, bukan beban..
*kiss