Senin, 07 Desember 2015

Pejuang Keturunan (1) – Awal dari perjuangan..

Menceritakan kembali perjuangan untuk memperoleh keturunan yang telah kami lalui selama 8 tahun ini, cukup menantang buat saya. Tantangannya adalah:
  1. Durasi masa lalu yang harus diingat cukup lama, sedangkan saya type orang yang seringkali lupa akan kejadian di masa lalu, terutama kejadian sedih. Seolah, di bawah sadar, otak saya memilah dan memilih kejadian dan hanya mengingat kejadian yang dia mau ingat saja
  2. Ketika komit untuk sharing, berarti akan ada kekurangan saya dan juga mas suami yang diceritakan di kisah saya. Kadang saya ragu, apakah ini membuka aib keluarga atau tidak
  3. Mengingat setiap detail peristiwa, maka saya akan dihadapkan lagi pada bayangan kejadian indah dan lebih banyak kejadian sedih. Kuat gak ya? Hehe..
  4. Bagaimana caranya menceritakan kembali kisah kami dengan bahasa yang tidak vulgar, karena sebagian cerita akan berhubungan dengan alat kelamin, hehe..
  5. Bagaimana caranya supaya pembaca tidak bosan membaca kisah kami sampai selesai, karena ini adalah kisah kami selama 8 tahun, maka pasti akan menjadi cerita yang panjaaaannggg..

Setelah saya berdiskusi dengan mas suami, akhirnya kami putuskan bahwa kami akan tetap sharing perjuangan kami. Hanya untuk memberikan inspirasi, semangat atau apapun itulah namanya, kepada pasangan suami istri di luar sana, bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Kita sebagai manusia hanya wajib berusaha dan berdoa. Hasilnya, pasrahkan saja kepada Sang Penguasa Bumi dan Seisinya..

Dan mengapa kok cerita perjuangan kami baru di-share sekarang? Karena kehamilan saya alhamdulillah sudah 7 bulan, sudah relatif lebih aman dan ga pamali lagi kata orang. Sharing ini sebagai wujud rasa syukur kami, dan sekaligus sebagai pengganti acara 7 bulanan yang tidak kami adakan, hehe..

Cerita akan saya mulai dengan kondisi saat saya menikah.
Saat itu kami sudah pacaran 5 tahun, belum ada rencana untuk menikah. Saya ingin konsen dulu bekerja, nikah 4 tahun lagi lah. Tetapi takdir berkata lain. Setelah diklat kepegawaian mas suami selesai, mas suami akan ditempatkan di Sulawesi, tepatnya Gorontalo. Akhirnya orang tua menyarankan kami untuk menikah. Sempat ragu, karena wacana tersebut sangat mendadak dan persiapan untuk menikah hanya 1 bulan. Tapi kemudian kami yakin, jika memang sudah jodoh, maka semua proses akan dilancarkan olehNya. Dengan persiapan yang hanya 1 bulan, pernikahan yang dilakukan di kampung saya, Malang, Alhamdulillah berjalan dengan lancar. Meskipun tidak sesempurna pernikahan impian saya.

Seminggu setelah menikah, mas suami menjalankan tugas penempatannya dan pindah ke Gorontalo, sedangkan saya tetap di Jakarta, seperti sebelum menikah, tinggal di rumah tante. Kami baru bertemu lagi 3 bulan kemudian. Dan setelah 3 bulan itu, kami bertemu lagi 4 bulan kemudian. Bisa dibayangkan kan, intensitas kehidupan seksual kami? Haha..
Pertemuan setelah berpisah selama 3 bulan.. ;-)
2008 sudah mulai selfie, baru nyadar, haha

Sebenarnya, saat diklat, mas suami mendapatkan ranking 3 di kelasnya, sehingga dia punya hak untuk memilih penempatan. Tetapi saat itu, saya juga ada kemungkinan untuk ditempatkan di cabang luar Jakarta. Rencananya, jika lokasi saya sudah pasti, maka mas suami akan memilih sesuai lokasi penempatan saya. Sampai batas waktu konfirmasi yang ditentukan oleh kantor suami, belum juga ada kepastian dari kantor saya. Sehingga saat itu saya usulkan kepada mas suami untuk membuat surat kepada Biro SDM yang berisi bahwa, saat ini akan mengikuti penempatan terlebih dahulu, nanti setelah diangkat menjadi PNS, baru hak tersebut akan digunakan. Sekali lagi usaha kami dilancarkan, permohonan tersebut dikabulkan oleh Biro SDM. Setelah diangkat menjadi PNS, maka mas suami mengajukan kepindahan ke Jakarta, dan kebetulan ada biro yang sedang membutuhkan lulusan Teknik Sipil. Akhirnya mas suami berkumpul kembali bersama istri tercinta, hehe..

Sepindahnya mas suami ke Jakarta, kami tetap tinggal di rumah tante. Awalnya kami ingin pindah dan mencari kontrakan, supaya dapat memulai hidup mandiri. Tetapi tante melarang, beliau sangat membuka rumahnya untuk kami tempati karena memang ada kamar yang kosong. Selain itu kata tante,
“sayang uang kontraknya, bisa kamu tabung buat dp rumah”.
Masuk akal juga sih. Dengan pikiran logis dan membuang segala gengsi, akhirnya kami tetap tinggal di rumah tante.

Selama tinggal di sana, sempat terbersit pikiran,
”gimana ya, kalau nanti punya anak, apa ga bakal malah ngrepotin tante?”.
Meskipun khawatir, kami tidak pernah dengan sengaja untuk menunda mempunyai keturunan. Tetapi karena masih tinggal di rumah tante, sampai hampir 3 tahun pernikahan kami, kami tidak pernah sekalipun memeriksakan diri ke dokter dan memulai program hamil. Kami hanya fokus menabung dan menabung..

Bing beng bang yuk, kita ke bank..
Bang bing bung yuk, kita nabung..

(bersambung..)

6 komentar:

  1. Mba siil.. lanjutin dong, buruaan...

    BalasHapus
  2. Mba siil.. lanjutin dong, buruaan...

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Mbak Sil aku padamuuuu,,,, kutunggu dgn sabar sambunganny,,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa Maa, nantikan setiap hari kerja jam 7 pagi. Haha, koyo infotainment ae yoo..

      Hapus