Jumat, 18 Desember 2015

Pejuang Keturunan (10) – Unpaid leave..

Perjuangan terus berlanjut, sampailah kami di bulan dimana kami akan melakukan inseminasi yang ke-2, September 2014. Sebelum bulan itu datang, saya berdiskusi dengan mas suami, faktor apa yang menyebabkan inseminasi sebelumnya gagal dan mengapa saya sampai keguguran, serta solusi apa supaya hal tersebut tidak terulang lagi. Sampailah kami pada kesimpulan bahwa mungkin saya terlalu lelah, karena lokasi kantor yang jauh dari rumah. Team di kantorpun sedang tidak lengkap, sehingga saya yang memang suka berpikir menjadi terlalu pemikir, stress maksudnya, hehe..

Akhirnya kami mengambil keputusan, bahwa saya akan unpaid leave dari kantor saya. Unpaid leave adalah cuti tanpa gaji. Berat gak buat saya? Berat lah, yang biasanya gajian, menjadi tidak gajian, padahal kami masih memerlukan dana untuk program hamil. Hanya saja, keputusan memang harus diambil. Saya ajukan surat yang berisi mengenai alasan pengambilan unpaid leave ke atasan saya, di bawah ini. Saya hanya mengajukan ke atasan saya dan yang selanjutnya mengajukan ke level yang lebih tinggi adalah atasan saya.
Alhamdulillah pengajuan saya dikabulkan, sehingga saya dapat melakukan program inseminasi dengan lebih tenang. Proses sama persis dengan proses inseminasi yang pertama. Kalau sebelumnya inseminasi hari ke-2 tidak dilakukan karena saya trauma, kali ini inseminasi hari ke-2 tidak dilakukan karena mas suami sedang dinas ke luar kota, maklum lah, abdi negara, hehe..
Setelah inseminasi dilakukan, saya istirahat di rumah. Benar-benar istirahat, tidak melakukan pekerjaan berat dan hanya melakukan hal-hal yang menyenangkan hati saja, seperti misalnya nonton film Korea.. ;-) Sampai masa tunggu itu berakhir dan ternyata menstruasi saya datang, hiks..

Kecewa..

Saya membayangkan semua waktu, tenaga, biaya yang telah kami korbankan untuk proses tersebut.. Tapi apa mau dikata, mungkin memang belum rejeki.

Setelah itu kami berdiskusi lagi, kira-kira apakah langkah selanjutnya yang akan diambil. Kami sepakat untuk memperpanjang unpaid leave saya, yang semula 1 bulan menjadi 6 bulan. Kali ini, saya mengajukan surat yang ke-2 dengan nothing to lose, benar-benar hanya mengharapkan kebijakan management. Kalau dikasih ya syukur Alhamdulillah, kalau tidak, ya gapapa juga, mungkin memang saya harus masuk kerja. Dan siapa sangka, management berbaik hati untuk mengabulkan permohonan saya, cinta banget deh sama kantor ini, hehe..

Kenapa kok unpaid leave diperpanjang?
Sebenarnya banyak sekali yang menyarankan saya berhenti bekerja, dengan alasan mungkin saya kecapekan, mungkin saya stress. Tetapi jujur, saya belum siap untuk berhenti bekerja. Saya belum terbayang, apa yang nanti akan saya lakukan di rumah. Saya juga tidak yakin, tidak bekerja akan membuat saya lebih bahagia. Tapi tidak ada salahnya juga, kalau saya mencoba stay di rumah untuk sementara. Mungkin metode tersebut bisa berhasil.

Berat ga untuk saya?
Berat lah. Saya sudah 8 tahun bekerja dan saya memang bukan type ibu rumah tangga yang bisa stay di rumah. Sekali lagi, saya harus rela untuk tidak menjadi diri sendiri. Saya juga sadar, bahwa akan banyak kegiatan dan kesempatan di kantor yang akan saya lewatkan. Setiap kali melihat update kolega di sosial media tentang kegiatan di kantor, saya hanya bisa mengelus dada dan menghibur diri sendiri, bahwa sekarang ada hal yang lebih prioritas, let it gooooo..
Selain itu, total pendapatan keluarga hilang 50% tanpa ada persiapan, kalaupun saya harus mencari tambahan, malah melenceng dari tujuan awal unpaid leave yaitu istirahat. Sehingga mau tidak mau, saya juga harus mengatur kembali keuangan keluarga. Cukup tidak cukup ya harus dicukupin, hehe..

Saya habiskan 6 bulan dengan mencoba-coba makanan sehat, berkebun, aerobic, membaca, nonton film, traveling dan kegiatan positif lain yang membuat saya tidak bosan. Saya juga berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah. Obat hormon dan segala terapi medis saya hentikan. Saya benar-benar ingin hidup alami, sehingga fresh secara fisik dan pikiran.
Sarapan sehat..
Hasil berkebun..
Earthing, bersatu dengan alam..
6 bulanpun berlalu tanpa ada hasil. Saya kembali aktif bekerja. Saya sampaikan kepada mas suami, bahwa di 2015 ini saya mau serius bekerja saja, karena saya merasa banyak ketinggalan. Saya juga tidak mau minum obat hormon dulu, karena saya ingin membersihkan diri dari paparan hormon-hormon tersebut. Saya tidak mau, suatu hari nanti saya menyesal, karena terlalu agresif program hamil dengan minum obat hormon, saya malah terkena penyakit yang macam-macam, kanker misalnya. Dan terlalu fokus di program hamil, ternyata membuat saya tidak bahagia, jadi untuk apa melakukan hal yang membuat kita tidak bahagia.

Dari semua usaha yang sudah dilakukan, secara fisik, memang saya belum berhasil hamil. Tapi ada beberapa manfaat yang kami rasakan.

1.    Kami punya banyak waktu untuk orang tua
Kami sempat mengajak Bapak dan Mama saya untuk berlibur ke Yogyakarta dan Bandung. Perjalanan tersebut adalah pengamalan pertama orang tua saya tidur di hotel berbintang. Bahkan, Bapak tak bosan-bosannya berendam di bathtub, haha..
2013, Bapak saya sakit parah. Hampir 3 bulan keluar masuk RS di Jakarta karena Hepatitis B yang sudah sirosis dan ada kanker hatinya pula. Bapak saya tidak punya asuransi, sehingga sebagian besar biaya adalah dari sisa tabungan pensiunan Bapak dan anak-anaknya, terutama kami. Bapak meninggal di 21 Mei 2013 dan dimakamkan di Malang. Mungkin kalau saat itu kami sudah punya anak, waktu kami tidak akan terlalu bebas untuk menyenangkan dan merawat Bapak.

2.    Kami (lebih tepatnya saya), sempat mewujudkan mimpi traveling
Saya suka traveling, terutama dengan tujuan luar negeri. Karena memang saya suka explore daerah baru, kebudayaan baru dan lingkungan baru. Selama pernikahan kami, sambil berjuang untuk program hamil, kami sempat pergi ke Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Hongkong, Macau, Korea Selatan, Jepang. Mimpi traveling tertinggi saya adalah melihat Eiffel Tower di Paris, dan kami berhasil mewujudkannya di Maret 2015 ini. Kalau sudah punya anak, mungkin prioritas kami adalah anak dan pengalaman traveling akan sangat minim
3.    Kami memiliki waktu lebih untuk mempersiapkan diri, baik secara mental ataupun finansial.
Kami sempat mengikuti beberapa kelas parenting, karena kami tidak pernah sekolah untuk jadi orang tua, mumpung masih ada waktu, maka kami mencari ilmu dulu. Meskipun belum terlalu banyak, kami juga telah mempersiapkan tabungan untuk masa depan anak kami jika nanti ada
Maaf abah Ihsan Baihaqi, pose saya gitu banget ya, hehe..
Bersama ibu Elly Risman..

4.    Saya dan mas suami lebih sehat
Secara fisik kami lebih sehat, karena saya dan mas suami mulai mengkonsumsi makanan sehat dan berusaha hidup sehat. Dulu, seriiing banget saya makan fast food, kalau sekarang sebulan sekali belum tentu. Dulu, kalau ga ada ide makan apa, pasti mie instant jadi sasaran, kalau sekarang seminggu sekali belum tentu. Dulu, apapun makanannya, minumannya teh botol, kalau sekarang, lupakan. Saya merubah sarapan saya menjadi perasan lemon hangat dan buah, dan sudah berjalan 4 tahun. Kami juga merubah karbohidrat di rumah dari beras putih menjadi beras merah. Saya sesekali berolah raga, bagi saya, lebih mudah merubah pola makan daripada berolahraga. Sedangkan, mas suami rajin berolahraga, rutin 3x dalam seminggu, karena dia agak susah merubah sarapan bubur ayam dan lontong sayur menjadi buah.
Secara bathin pun kami lebih sehat. Karena sudah melalui banyak hal, kami menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih kuat, lebih bersyukur, lebih positive thinking atas apa yang terjadi dalam kehidupan. Kami juga belajar untuk tidak nge-judge orang atas kondisi mereka saat ini, karena sebenarnya kita tidak tahu apa yang sudah mereka perjuangkan. Kami juga belajar memilah mana omongan orang yang perlu didengar, mana yang kita cuekin saja, karena tidak semua omongan orang itu konstruktif, dan omongan negatif yang mereka katakan tidak bisa kita kontrol, yang bisa kita kontrol adalah, kita mau mendengarkan atau tidak

5.    Hubungan saya dan mas suami lebih dekat, baik hubungan bathin ataupun fisik.
Selama berjuang, kami selalu berkomunikasi secara intensif. Apapun perasaan yang kami rasakan, entah itu sedih, kecewa, marah, bahagia, senang, selalu kami luapkan. Saya dan mas suami yang memang selama ini jarang bertengkar (kalaupun bertengkar, biasanya karena program hamil), menjadi makin dekat dan makin memahami kepribadian satu dengan yang lain.
Kami juga sering melakukan aktivitas bersama. Rasanya kami tidak punya me time, adanya our time. Kalau bahasa Jawa, nyebutnya mimi lan mintuno. Mulai ngemall, nonton bioskop, petualangan kuliner, silaturahmi dengan teman, traveling ke berbagai tujuan, sampai dengan ikut kelas parenting, selalu kami lakukan berdua. Kalau dipikir-pikir, me time hanya kalau saya sedang ngurus tanaman atau ketika mas suami sedang main game.
Untuk urusan seksual pun, kami mengalami perubahan lebih baik. Kalau dulu, jadwal rutin kami adalah saat weekend. Karena weekdays selalu melelahkan dan hanya weekend waktu kami longgar. Kalaupun sedang ML, yang ada di pikiran adalah untuk produksi anak, sehingga mungkin ada tekanan psikologis yang kami rasakan di alam bawah sadar kami. Tapi sejak saya mengambil unpaid leave, kami ML kapanpun kami ingin, tidak memandang weekdays atau weekend, pagi siang atau malam, haha.. Karena tujuan kami bukan produksi melainkan rekreasi, dinikmati aja lah.. Dan kebiasaan ini berlanjut ketika saya mulai kembali bekerja.

6.    Saya dan mas suami lebih nrimo dan pasrah.
Karena berbagai macam usaha telah dilakukan, tapi belum memberikan hasil yang diinginkan. Di lubuk hati yang paling dalam, kami lebih sadar bahwa segala sesuatunya sudah diatur oleh Allah, sudah ada skenarionya. Sengotot apapun kita, kalau Allah belum berkehendak, ya belum aja. Tugas kami hanya berusaha, hasilnya bukan domain kita. Dan kalau boleh jujur, berduapun kami sudah bahagia..

7.    Saya mengenal suami saya lebih baik
Meskipun dari luar terlihat cuek dan judes, sebenarnya suami saya adalah orang yang lembut dan penyayang, dia hampir tidak pernah marah. Jadi kalau sekali dia marah, biasanya saya takut, hehe.. Suami saya ini juga bukan orang yang ekspresif, dia kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya. Sekarang sih sudah mending, dia banyak terpengaruh ke-ekstrovert-an saya. Dulu, wah susah banget untuk tahu dia lagi senang, sedih atau perasaan lainnya. Suami saya juga bukan orang romantis, hal ini membuat saya kadang tidak yakin “nih anak cinta nggak ya, sama saya, hehe”.

Di beberapa proses, ketika kami mengalami kegagalan, seringkali mas suami jadi sasaran kekecewaan dan kemarahan saya.
Mulai kemarahan lisan, sampai kemarahan yang… ah, sedih mbayanginnya..

Saya, “mas, kenapa sih kok kita harus mengalami semua ini. Rasanya Allah tidak adil mas. Kita udah berkorban macam-macam, tapi kok ga berhasil juga. Baik ke orang tua sudah, sedakah juga sudah. Kurang apa kita mas?”

Mas suami, “husss yank, kamu ga boleh suudzon sama Allah seperti itu. Rencana Allah itu pasti yang terbaik. Kita harus positive thinking. Ikhlas sama ketentuan Allah. Kita harus terus sabar yank”

Saya, “ya kamu enak, cuman sumbang sperma doang. Aku mas, yang tiap bulan minum dan suntik obat hormon, aku yang moodnya swing banget, aku yang kena resiko kanker. Aku juga yang tiap bulan diogok-ogok, tindakan ini tindakan itu, aku mas. Kamu ga ngrasain sih”

Mas suami, “yank, kalau bisa, aku mau kok gantiin posisi kamu. Tapi ini kan ga bisa yank. Kamu sedih, aku juga sedih. Tapi kan aku ga boleh nunjukin kesedihan itu ke kamu, sebisa mungkin malah aku menguatkan kamu yank”

Saya… speechless, langsung meluk suami dan minta maaf.

Kalau saya sudah terlalu marah dengan keadaan, kadang rasanya saya ingin memukul sesuatu. Mas suamipun menyediakan dirinya untuk saya pukul. Kadang diberi cover bantal, kadang langsung ke lengan dan badannya. Kalau saya ingat-ingat kembali semua yang telah terjadi, istri durhaka sekali saya ya. Tapi setelah kejadian saya selalu minta maaf ke mas suami. Mas suami yang sangat memahami perasaan saya, Alhamdulillah selalu memaafkan.

Dari semua kejadian itulah, saya yakin bahwa suami saya punya cinta seluas samudera untuk saya.. *lebay

Ya, begitu hebatnya skenario Allah. Menyusun kehidupan kita dengan begitu sempurna. Yang bisa kita lakukan adalah positive thinking atas segala rencanaNya.

Kamipun lanjut menikmati kehidupan..
Tahun 2015 ini kami bye dulu dari segala program hamil, sampai ketemu lagi dengan usg transvaginal, obat hormon dan kawan-kawannya di tahun 2016..
(bersambung..)

2 komentar:

  1. Bagus banget mbak sisil blognya. Yang kemaren2 selalu stress mikirin hal ini itu dan bolak balik ke dokter lab dll. Jadi punya semangat baru dan positive thinking setelah baca 10 cerita. Ditunggu cerita selanjutnya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak Putri..
      Alhamdulillah kalau memang ceritanya bermanfaat..
      Semangat terus ya mbak, anggap saja perjuangan ini ibadah, bukan beban..
      *kiss

      Hapus