Selasa, 29 Desember 2015

Seminar Peran Ayah dalam Pengasuhan

21 November 2015 yang lalu, saya dan mas suami mengikuti seminar parenting yang diadakan oleh @kampungkeluarga. Seminar parenting ini bertempat di AXA Tower dan dimulai pada pukul 8 pagi. Lumayanlah, berangkat pagi-pagi dari BSD, hehe..

Pada seminar kali ini, ada 2 pembicara. Yang pertama adalah seorang penulis, yang buku “Sabtu Bersama Bapak”nya berhasil membuat saya dan mas suami mbrebes mili saat membacanya, Adhitya Mulya. Dan satunya lagi adalah ahli parenting, yang saya salut banget, meskipun sudah senior, tetapi tetap bersemangat dan seolah-olah energinya tidak pernah habis, Ibu Elly Risman. Dan ini adalah ke-empat kalinya saya mengikuti kelas beliau.

Acara dibuka dengan sesi kang Adhit. Beliau menceritakan secara singkat mengenai sinopsis bukunya dan menjelaskan mengenai poin apa saja yang terkait dengan parenting di buku tersebut.

Cerita Sabtu Bersama Bapak ini adalah cerita fiksi, yang menceritakan tentang seorang Bapak yang sakit parah dan hanya punya waktu 1 tahun lagi untuk hidup. Karena dia sadar, dia tidak bisa mendampingi kedua anak lelakinya tumbuh besar dan dewasa, maka dia berusaha untuk memberikan pengganti kehadirannya dengan merekam diri dalam bentuk video. Video ini akan diputar setiap hari Sabtu, berbeda kaset untuk masing-masing anak. Cerita berkembang ke kehidupan dewasa masing-masing anak. Sang kakak, Satya yang merasa kesusahan dekat dengan istri dan anaknya. Si adik,Cakra yang merasa kesusahan mendapatkan jodoh. Dan juga ibu Euis, yang memilih untuk tidak menikah dan ketakutan jika suatu hari harus “pergi” meninggalkan anak-anaknya.

Saya pribadi, suka membaca buku ini, apalagi saat itu Bapak saya baru saja meninggal, jadi rasanya ya kena banget. Apalagi suami saya, yang ayahnya meninggal ketika dia masih 4 SD, makin kena banget. Kalau mau cerita lengkapnya, beli aja bukunya, ga bakalan nyesel deh.. ;-) *bantuin promo, hehe..

Sedangkan untuk nilai parenting apa saja yang bisa didapat dari bukunya, kang Adhit merangkum beberapa hal, yang bisa dilihat di bawah ini..
Setelah sesi kang Adhit selesai, maka dilanjutkan dengan sesi Bu Elly Risman. Secara garis besar, Bu Elly menjelaskan mengenai arti pentingnya kehadiran seorang ayah dalam kehidupan anak. Banyak sekali hal yang “tidak benar” yang terjadi pada seorang anak, mulai dari kecil sampai dewasa, yang ternyata setelah ditelusuri, penyebabnya adalah ketidakhadiran seorang ayah, atau ayah ada tapi tiada, fatherless.

Materi yang dibawakan oleh bu Elly Risman dapat dilihat di bawah ini.
Setelah bu Elly selesai menyampaikan materinya, mas suami sempat sharing dan bertanya kepada bu Elly. Dan saya bangga sama mas suami, karena bisa menceritakan hal yang pribadi di depan banyak orang, yang saya tau itu tidak mudah bagi mas suami. Awalnya saya yang akan sharing dan bertanya, tapi mas suami meyakinkan saya “ini tentang kehidupanku, aku aja yang cerita. Aku yakin bisa”

Sharingnya adalah seperti ini,
“Kakek saya adalah seorang polisi, beliau mendidik Abah saya yang merupakan anak tunggal, dengan cukup keras. Kakek meninggal ketika abah kelas 5 SD. Setelah itu, Nini memutuskan untuk tidak menikah lagi sampai akhir hayatnya, sehingga role model yang Abah punya hanyalah Kakek. Abah mendidik saya juga dengan cukup keras, disiplin tingkat tinggi. Mungkin ini merupakan kombinasi darah Batak dan role model dari Kakek yang akhirnya diterapkan di keluarga Abah. Abah, meninggal ketika saya kelas 4 SD. Berbeda dengan Nini, Mama saya memutuskan untuk menikah lagi dengan Papa. Papa memiliki karakter yang sangat jauh berbeda dengan Abah. Papa sangat sabar dan berhati lembut. Dan ternyata, ketika saya tumbuh dewasa, karakter saya lebih mendekati Papa daripada Abah. Begitupun saat berkeluarga, role model yang saya dapatkan dari Papa lah yang saya terapkan di keluarga saya.
Yang ingin saya tanyakan, jika sesuatu terjadi pada saya sehingga saya harus “meninggalkan” anak istri saya, apakah sebaiknya yang harus dilakukan oleh istri saya, mengasuh anak saya sebagai single parent atau mencari suami baru yang dapat dijadikan role model untuk anak-anak saya nantinya?”

Bu Elly tidak menjawab pertanyaan mas suami dengan to the point. Beliau hanya menjelaskan bahwa, kita tidak memiliki diri kita sendiri, mumpung kita masih bisa, maka kita harus memberikan bekal terbaik untuk anak-anak kita, terutama bekal ilmu agama. Selengkapnya, jawaban bu Elly bisa dilihat di video di bawah ini.

Di awal acara, panitia menjelaskan bahwa ada lomba selfie yang dapat diikuti. Karena saya duduk di deretan paling depan dan tidak sempat selfie sebelum acara dimulai, maka foto inilah yang saya posting.
Dan alhamdulillah, dapat juara 2, hehe.. Setelah hadiah diserahkan, maka saya berfoto bersama dengan pembicara, moderator dan panitia.
Lumayan hadiahnya, terutama voucher untuk membeli baju anak, hihi, alhamdulillah..
Dan setelah acara selesai, kami yang memang sengaja membawa buku Sabtu Bersama Bapak, meminta ttd kang Adhit di buku tersebut. Sempat ada insiden sih, pulpen yg kami pinjem kok agak tersendat, jadilah bukunya kaya dicoret-coret gitu, haha.. Tapi kami coba pinjem pulpen lagi, dan berhasil meminta ulang ttd. Inilah kalau kurang prepare, harusnya selain buku, kami juga bawa pulpen dari rumah. Dan selain ttd, lumayan dapat bonus selfie, hehe..
Dan beberapa hari kemudian, foto yg saya ikutkan di lomba selfie, di-like oleh kan Adhit beserta istri, teh Ninit, senangnya, hehe..
Dan apa yang kami dapatkan dari seminar tersebut?
1. Bahwa kehadiran ayah adalah suatu keharusan. Lebih baik jika ayah hadir secara fisik, bukan hanya rekaman video seperti ayah dalam buku Sabtu Bersama Bapak. Tetapi kalau hal tersebut adalah hal terbaik yang dapat dilakukan, lakukan saja, mumpung masih bisa
2. Ayah tidak hanya hadir, tetapi juga terlibat aktif dalam pengasuhan
3. Ekstrimnya, kalau suami kerja jauh dari anak istri, maka pilihannya adalah suami cari pekerjaan lain, atau anak istri pindah untuk hidup bersama suami. Intinya, ayah ibu dan anak harus hidup bersama
4. Mumpung masih bisa, kita, ayah dan ibu, harus membekali anak kita dengan ilmu agama, dan ilmu kehidupan lain yang dapat membuat anak kita mandiri. Sehingga kalau suatu saat tiba-tiba kita “meninggalkan” mereka, mereka sudah siap
5. Anak bukanlah milik kita, mereka adalah titipan Allah, kita adalah Baby Sitter nya Allah. Untuk itu kita harus menjaga dan merawat amanah dari Allah dengan sebaik-baiknya

Semoga kita bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kita, aamiin..

4 komentar:

  1. Sisil aku baca post ini dan nangis... Hiks hiks banyak hal yang terlupa saat orang tua sibuk.. Subhanallah yaa kita sebenernya adl baby sitternya Allah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah baca ya Cha..
      ini juga reminder buat aku, yang udah terlalu lama keenakan hidup berdua dengan suami.. setelah ini akan jadi baby sitter juga, hehe..

      Hapus
  2. subhanallah mba sisil, saya baca tulisan mba gak terasa airmata menetes trus(drama banget ya) tapi itu nyata mba seperti saya mengikuti jlan hidup mba, semoga dengan adanya blog mbak menginsipirasi kita pejuang keturunan untuk tetap gak berhenti ikhtiar dan berdoa, semoga happy ending juga seperti mba sisil bisa hamil dan mendapat kesempatan utk jadi baby sitter bagi anak kita (titipan ALLAH) semoga sehat dan bahagia selalu mba sisil dan keluarga aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Lisna, karena nikmatnya punya anak itu worth to wait dan worth to fight..
      Aamiin untuk doanya ya mbak, semoga diijabah oleh Allah SWT..

      Hapus